Di antara
fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris
kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.
Mengenai cara pembagian hak waris
para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris
secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan
perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara
perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka
dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan
atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan
ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau
membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian,
mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang
menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena
adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan
dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam
mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah
sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin
ilmu mawarits.
Golongan ini disebut ahlut-tanzil
dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok
(induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada
(yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh
dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris
yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya.
Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para
ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman tentang
mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:
- Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan
keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung
perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah.
Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak
perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh
karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah
(1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian,
sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub)
disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu
ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
- Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan
keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara
perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu,
dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah).
Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara
kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan
keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara
perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan
sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6)
bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris
meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara
perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand.
1/6
Begitulah cara pembagiannya, yakni
dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil oleh
mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada
Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara
perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada
ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per
tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak
ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa
Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang
yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan
setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk
keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah
saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya
pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang
memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan
hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada
nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian
mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu,
dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan
posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab,
rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan.
Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan
menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada
pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.
Adapun mazhab ketiga menyatakan
bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan
mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan
mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara
mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat
dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam
hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya
secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah,
yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris,
kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu,
pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki
adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini merupakan pendapat Ali
bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab ketiga ini
telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian
menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh
akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya.
Keempat golongan tersebut adalah:
- Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
- Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
- Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua
pewaris.
- Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris
atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat kepada pewaris
sebagai berikut:
- Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan
seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
- Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan
keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun
perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:
- Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah
dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
- Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari
ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua orang
tua pewaris:
- Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah,
atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
- Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki,
atau seayah, seibu, dan seterusnya.
- Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Yang bernisbat kepada kedua kakek
atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
- Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi
kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu)
pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
- Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan
dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara
perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan
seterusnya.
- Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah,
ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah).
Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi
dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
- Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan
seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang
ayah.
- Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian
paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
- Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas
(Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam kelompok yang
bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.
Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
Dari uraian-uraian sebelumnya,
ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab
ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
- Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok
per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain.
Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu
dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
- Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam
mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan"
dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul
qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan
kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum
wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah
Telah
saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan
--dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan
demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah
keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka
pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah
keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah
keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah
keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari
paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat
menggugurkan kelompok berikutnya.H.
Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang berhak
mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki,
(2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak
bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7)
saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9)
anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung
bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman
(saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15)
laki-laki yang memerdekakan budak.
Catatan
Bagi cucu laki-laki yang disebut
sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya,
yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang
dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
I. Ahli Waris dari Golongan Wanita
Adapun ahli waris dari kaum wanita
ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak
laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara
kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu,
(9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan yang dimaksud di atas
mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak
laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun
ibu dari bapak-- dan seterusnya.
0 komentar:
Post a Comment