Nama
lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn mahmûd. Tokoh yang
dikenal dengan nama Abu Manshur al-Maturidi ini dilahirkan di Maturid, sebuah
daerah di Samarkand termasuk kawasan Mâ Warâ’ al-Nahr, dan wafat pada
tahun 333 H/944 M, ia menimba ilmu pada pertiga terakhir abad ke-3 Hijrah,
yakni pada masa Mu’tazilah mendapat kemarahan masyarakat sebagai balasan
perlakuan mereka terhadap fuqaha muhadditsin pada pertiga pertama abat
tersebut.
Tahun
kelahiran al-Maturidi tidak begitu diketahui dengan pasti. Akan tetapi,
tampakanya ia dilahirkan pada sekitar pertengahan abad ke-3 Hijrah. A.K.M.Ayyub
Ali menyimpulkan bahwa al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H/853 M. Dapat
dipastikan, bahwa beliau belajar ilmu fikih dari Madzhab Hanafi dan ilmu kalam
dari Nashr ibn Yahya al-Balakhi. garis ketururunan beliau bersambung dengan
sahabat Abu Ayyub al-Anshory. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama
Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada
masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M.
Abu
Manshur al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya
banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistim
pemikiran teologi yang ditimbulkan oleh Abu Manshur termasuk dalam golongan
teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah namun literatur mengenai
ajaran-ajaran Abu Manshur dan aliran al-Maturidiyyah tidak sebanyak literature
mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyyah.
Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi sedangkan
Asy’ari adalah pengikut madzhab Syai’i, oleh karena itu pengikut Maturidi
adalah orang-orang Hanafiyyah sedang pengikut Asy’ari adalah orang-orang
Syafi’i. Boleh jadi ada beberapa perbedaan pendapat antara kedua orang
tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan Syafi’i
itu sendiri.
Al-Maturidi dalam bidang kajiannya mempunyai sejumlah
kitab yang diantaranya ialah: Kitâb Ta’wil al-Qur’ân, Kitâb Ma’khuz al-syarâ‘i,
Kitâb al-Jadal, Kitâb al-Ushûl al-Dî n, Kitâb al-Maqâlât fi al-kalâm, Kitâb
al-Tauhîd, Kitab Radd Awâ’il al-‘adilah li al-Ka’bî, Kitâb Radd Tahzîb al-jadal
li al-Ka’bî, kitâb Radd al-Ushûl al-Khamsah li Abî Muhammad al-Bâhîlî, al-Radd
al-Imamah li Ba’dhi al-Rawâfidh, dan al-Radd ‘ala al-Qarâ mithah
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai
rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam
teologinya. Oleh karena itu diantara teologinya dan teologi yang ditimbulkan
oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi
terhadap aliran Mu’tazilah.
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antar
al-Asy’ari dan al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka
menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzatnya, tetapi mengetahui
dengan pengetahuan Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya.
Tetapi dalam soal
perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah,
bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan
demikian ia mempunyai paham qadariyah dan bukan faham jabariyah atau kasb
Asy’ari.
Sama dengan al-Asy’ari,
al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi
disamping itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban
tertentu. Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan Mu’tazilah tentang al-Qur’an
yang menimbulkan heboh itu. Sebagi al-Asy’ari ia mengatakan bahwa kalam atau
sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim.
Mengenai soal dosa besar
Al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang yang berdosa besar
masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di
akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum mu’tazilah.
Tetapi soal al-wa’ad wa al-wa’id
Al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan
ancaman-ancamanTuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal
anthropomorphisme6 Al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat
dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan,
wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.
Salah satu pengikut penting
Al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H), nenek al-Bazdawi
adalah murid Al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran Al-Maturidi
dari orang tuanya. al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-nurid dan salah seorang
dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku
al-’Aqa’idal Nasafiah.
Seperti al-Baqillani dan
al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sefaham dengan al-Maturidi. Antara ke dua pemuka aliran
Maturidiah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam
aliran Maturidiyah terdapat dua golongan; golongan Samarkand yaitu
pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu
pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai faham-faham
yang lebih dekat kepada faham Mu’tazilah, sedangkan golongan Bukhara mempunyai
pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah
tetapi sefaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
kewajiban manusia berterimakasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari
keterangan al-Bazdawi berikut;
“Percaya kepada Tuhan dan
berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam faham
Mu’tazilah…al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sefaham dengan
Mu’tazilah, demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari
alim-ulama Irak”.
Keterangan ini diperkuat oleh
Abu ‘Uzbah:
“Dalam pendapat Mu’tazilah orang
yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban
percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, ia mesti
diberi hukum. Dalam Maturidiah anak yang belum baligh tidak mempunyai kewajiban
apa-apa. Tetapi al-Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal
berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara
al-Maturidiah dan Mu’tazilah”.
Kalau uraian al-Bazdawi, Abu ‘Uzbah dan lain-lain
memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal
mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, keterangan yang
demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan buruk. Al-Bazdawi umpamanya,
mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan baik dan
menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja,
sebenarnya Tuhan-lah yang menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk.9 Tetapi
al-Bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat
al-Maturidi.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum
Maturidiah, perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar
(nature) perbuatan yang bersangkutan, dengan perkataan lain upah dan hukuman
bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Akal kata al-Maturidi,
mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang
terdapat dalam yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat baik
adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk, dan pengetahuan inilah yang
memestikan adanya perintah dan larangan. Akal, kata al-Maturidi
selanjutnya, mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa
bersikap sebaliknya adalah buruk. Oleh karena itu akal memandang mulia orang
yang adil serta lurus dan memandang rendah sikap sebaliknya. Akal selanjutnya
memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi
kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan yang merendahkan. Perintah
dan larangan dengan demikian, menjadi wajib dengan kemestian akal (fayajib
al-amr wa al-nahy bidarurah al-’aql).
Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, akal dapat
mengetahui baik dan buruk. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah akal bagi
al-Maturidi dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
Uraian di atas tidak memberi pengertian bahwa akal dapat mengetahui hal itu.
Yang diwajibkan akal, menurut uraian itu, ialah adanya perintah dan larangan,
dan bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tak dapat
mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat maka keterangan al-Maturidi di atas
seharusnya berbunyi fayajib i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah
al-’aql. Yang dapat diketahui akal hanyalah sebab waibnya perintah dan larangan
Tuhan.
Pendapat al-Maturidi di atas diterima oleh para
pengikutnya di Samarkand. Adapun pengikutnya di Bukhara (al-Bazdawiyah), mereka
mempunyai faham yang berlainan sedikit. Perbedaan faham antara golongan
Samarkand dan Bukhara berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Seperti dilihat sebelumnya,
adanya perbedaan faham antara Samarkand dan Bukhara, bahwa al-Maturidi sefaham
dengan Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan
kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, dan bukan tercapainya umur dewasa oleh
anak itu. Golongan Bukhara tidak mempunyai
faham demikian. Dalam faham mereka akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban,
akal hanya mampu untuk mengetahui sebanya kewajiban. Akal bagi mereka adalah
alat untuk mengetahui kewajiban dan menentukan kewajiban (al-mujib) ialah
Tuhan.11
Dengan demikian akal menurut
faham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya
dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi
kewajiban. Akibat dari pendapat demikian
ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterimakasih kepada Tuhan, sebelum
turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang merupakan pendapat
golongan Bukhara. Alim ulama Bukhara berpendapat, sebelum adanya Rasul-rasul,
percaya kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan
bukanlah merupakan dosa.12
Dalam memberikan komentar terhadap QS. Thaha, 20:134,
al-Bazdawi mengatakan bahwa menurut ayat ini kewajiban-kewajiban tidak ada
sebelum pengiriman rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum
turunnya wahyu tidaklah wajib. Kewajiban-kewajiban itu ditentukan hanya oleh
Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu tidak dapat diketahui kecuali melalui
wahyu.13
Bagi al-Bazdawiah bahwa akal tak dapat mengetahui
kewajiban berterimakasih kepada Tuhan. Begitu juga akal tidak merupakan mujib,
yaitu yang menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia, yang menjadi mujib
dalam fahamnya hanyalah Tuhan.
Sebaliknya Maturidiyah Samarkand
mengadakan per-bedaan antara sifat terpujinya mengetahui Tuhan dan ber-terima
kasih kepada-Nya atas nikmat yang dianugerahkan-Nya dan sifat terpujinya
perbuatan menjauhi kejahatan. Argumen yang dipakai untuk
mengadakan perbedaan ini mungkin sekali seperti berikut ini. Dalam hidup
sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterimakasih kepada pemberi
nikmat. Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar. Untuk dapat berterimakasih
kepada-Nya orang harus mengetahui Tuhan (dari sinilah timbulnya faham kewajiban
mengetahui Tuhan).
Dalam hal baik dan buruk tak terdapat unsur penerima
nikmat dan pemberi nikmat. Dengan demikian akal dalam hal ini tak mempunyai
petunjuk yang kuat untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan
tentang baik dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat
Maturidiyah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami
perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak
pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
Dari uraian di atas kiranya
dapat disimpulkan seperti berikut;
1. Dalam aliran al-Maturidiah terdapat dua golongan,
yaitu golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi) dan golongan Bukhara (pengikut
al-Bazdawi). Kalau golongan Samarkand lebih dekat kepada faham Mu’tazilah
sedangkan golongan Bukhara lebih dekat dengan faham al-Asy’ari.
2. Perbedaan faham antara al-Maturidiah dan
al-Bazdawiyah berkisar pada masalah kewajiban mengenai Tuhan. Menurut
al-Maturidi bahwa mengetahui Tuhan wajib menurut akal (bi’uqulihim) walaupun
pemberitaan dari Rasul tak ada. Dalam faham al-Bazdawiyah berpendapat bahwa
akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban, akal hanya mampu untuk mengetahui
sebabnya kewajiban.
0 komentar:
Post a Comment