Tuesday 12 June 2012
Posted by Aswad Firmansyah Hanafi
No comments | Tuesday, June 12, 2012
1. Asal-Usul Kemunculan
Qadariyah
Qadariyah berasal
dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dalam
hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar tuhan.
Seharusnya sebutan
Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun sebutan
tersebut telah melekai kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai
kebebasan berkehandak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para
pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadis yang menimbulkan
kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Kapan Qadariyah
muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan.
Manurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama
kali dimunculkan. Oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma;bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.
Adapun Ghalian adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi
maula Usman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh
Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama
kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semuala beragama
kristen kemudian beragama islam dan balik lagi keagama kristen. Dari orang
inila Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang irak yang dimaksud,
sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’i
Yang memproleh
informasi dari Al-Auzai, adalah susunan.
Sementara itu, W.
Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam
bahasa jerman yang dipublikasikan melaului majalah Der Islam pada tahun 1933.
Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah
atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan
catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas memilih antara berbuat baik atau buruk.
Ma’bad Al-jauhani dan
Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah
Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan
Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin fahm Qadariyah ini
mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang
ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa fahan Qadariyah berasal
dari orang irak kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,adalah
hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang yang
tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagipula menurut Kremer, seperti
dikutip Ignaz Goldziher , dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan
tenteng butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
Berkaitan dengan
persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya jika meninjau kembali
pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peniti
sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika
itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini
terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini di kuatkan oleh Ibn
Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah
seorang kristen di irak yang telah masuk islam pendapatnya itu diambil oleh
Ma’bad dan Ghallian . sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di
Damaskus. Diduga disebabkan oleh orang-orang yang banyak dipekerjakan
diistana-istana.
Faham Qadariyah
mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu, ada beberapa hal yang
mengakibatkan terjadinua reaksi keras ini. Pertama, seperti pendapat Harun
Nasution, karena masyarakat arab sebelum islam kelihatannya dipengaruhi oleh
faham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari
pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam. Panas yang
menyengat, serta tanah dan gunung yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan
tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam
sekelilingnya.faham itu terus dianut kedatipun mereka telah beragama islam,
karena itu , ketika faham Qadariyah di kembangkan , mereka tidak dapat
menerimanya, faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin islam.
Kedua tantangan dari
pemerintah ketika itu. Tantangan itu sangat mungkin terjadi karena para pejabat
pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah
menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham
dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik
kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
2. Doktrin-Doktrin
Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal
wa An-Nihal , pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang
doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang
begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di
kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu
doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah
karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Harun Nasution
menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya. Mansuia sendiri pula melakukan atau menjauhi
perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah
yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia
berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa
penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Mansuia mempunyai kewenangan untuk melakun segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga
berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan
balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka
kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir
Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang
dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika
itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih
dahulu.
Dalam
perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di
tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir itu
ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan
surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di
akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh
tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan
atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika
itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih
dahulu.Dalam
perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di
tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir itu
ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia
telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya
tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia
ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang
dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah
yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan
mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang
dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang
kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa
yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian
juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa
barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah
terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang
benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki
manusia ? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan
lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum
Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan
segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai
tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang
mendukung pendapat ini,
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment