Tuesday 12 June 2012
Posted by Aswad Firmansyah Hanafi
No comments | Tuesday, June 12, 2012
Definisi
al-’Aul
Al-’aul adalah bertambahnya pembagi
(jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris.
Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya
telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang
belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita
harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat
mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka
menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang
semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu,
seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang
suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3).
Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat
berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.
Latar
Belakang Terjadinya ‘Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai
masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak pernah terjadi.
Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu
Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan pembagi (yakni ‘aul)
adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus
diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya adalah: Seorang
wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung.
Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah 1/2,
sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti
pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami
tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang
ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka
tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi hal demikian Umar pun
berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang
harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami,
pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang
bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara
perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat
Rasulullah saw.. Di antara
mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar
agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata:
"Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para
sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul
(penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat
Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini.
Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aul-kan
Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.
Contoh – Pembagi 2
Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan
sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian
saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam
masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh
ini pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan
saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri
1/4, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki
sekandung dengan saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki
dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam
masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara
perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8,
bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan
saudara perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini
tidak dapat menggunakan ‘aul.
Kesimpulan
1. Ketika
diketahui jumlah seluruh bagian ahli waris, dimana nilai pembaginya lebih besar
atau sama dengan pembilangnya, maka disana tidak perlu menggunakan metode ‘aul.
2.
Metode ‘aul digunakan jika nilai
pembaginya lebih kecil dari pembilangnya.
Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan
Angka-angka pembagi yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24.
Namun, ketiga pembagi itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.
Pembagi 6 hanya dapat di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih
dari angka itu tidak bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat
kali saja.
Kemudian pembagi 12 hanya dapat
dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu tidak bisa. Maka pembagi 12
hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.
Sedangkan pembagi 24 hanya dapat
di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang
memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah
al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib
ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.
Contoh
– Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7
Seseorang wafat dan meninggalkan
suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga,
bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan bagian saudara
perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya
telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan
menjadi 7.
Contoh
– Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8
Seseorang wafat dan meninggalkan
suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti
tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan sekandung 1/2 berarti
tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan
demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 8/6. Oleh
karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.
Contoh
– Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9
Seseorang wafat dan meninggalkan
seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara
laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pembaginya 6. Bagian suami
1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3
berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu 1/3 berarti dua
bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu
9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.
Contoh
– Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10
Seseorang wafat dan meninggalkan
suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan
seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya enam. Bagian suami 1/2
berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua orang saudara seayah 2/3 berarti
empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu 1/3 berarti dua
bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu
10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 10.
Contoh
– Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya
sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, bagian ibu
1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan sekandung
2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi
jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 13.
Contoh
– Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15
Seseorang wafat dan meninggalkan
seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara
perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya
sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, ibu mendapat 1/6
berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh 1/2 berarti enam
bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai penyempurna dua
pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga 1/6
berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah
pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.
Contoh
– Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17
Seseorang wafat dan meninggalkan
tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan
empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4 berarti tiga bagian,
sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian, bagi kedelapan
saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat
saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah
bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu, pembagi
12 dinaikkan menjadi 17.
Contoh
– Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27
Masalah ini dikenal dengan sebutan
al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang
istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pembaginya 24. Ayah mendapat 1/6
berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti empat bagian, istri mendapat
1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2 berarti dua belas bagian,
sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 1/6, sebagai
penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya
telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena itu, pembagi 24
dinaikkan menjadi 27.
Kesimpulan
1.
Setiap masalah atau keadaan yang di
dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian 1/2 dari harta
waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris
yang masing-masing berhak mendapatkan bagian 1/2, maka pembaginya dari 2, dan
tidak dapat di-’aul-kan.
2.
Setiap masalah atau keadaan yang di
dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lain
sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian 1/3 dan
yang lainnya 2/3, maka pembaginya dari 3, dan tidak ada ‘aul.
3.
Setiap masalah atau keadaan yang di
dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/4 dan yang lain
sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat 1/4 dan yang lain
berhak mendapat 1/2, maka pembaginya dari 4, dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
4.
Setiap masalah atau keadaan yang di
dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/8 dan yang lain
sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan
yang lainnya setengah, maka pembaginya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.
Definisi
ar-Radd
Ar-radd adalah berkurangnya pembagi
(jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini
disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum
mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa,
sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta
waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi
pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh
yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.
Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat seperti di bawah ini:
1.
Adanya ashhabul furudh
2.
Tidak adanya ashabah
3.
Adanya sisa harta waris
Bila dalam pembagian harta waris
tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.
Ahli
Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan
semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang
dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:
1.
Anak perempuan
2.
Cucu perempuan keturunan anak
laki-laki
3.
Saudara perempuan sekandung
4.
Saudara perempuan seayah
5.
Ibu kandung
6. Nenek sahih
(ibu dari bapak)
7.
Saudara perempuan seibu
8.
Saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek,
sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu,
mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila
dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada
ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.
Ahli
Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul
furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini
disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan
kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan
istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai
bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri
tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Macam-macam
ar-Radd
Ada empat macam Ar-radd, dan
masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam Ar-radd
tersebut adalah:
1.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat
bagian waris yang sama, tanpa adanya suami atau istri.
2.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat
bagian waris yang berbeda-beda, tanpa adanya suami atau istri.
3.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat
bagian waris yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
4.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat
bagian waris yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Hukum
Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu keadaan ahli
warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya,
semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan
seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara
pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).
Contoh
1
Seseorang wafat dan hanya
meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/3
bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka
yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka terima secara
ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka,
disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang sama.
Contoh
2
Seseorang wafat dan hanya
meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari
mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh,
yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya
sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.
Contoh 3
Seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu.
Maka masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian
mereka sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka
pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya
hanya dua.
Hukum Keadaan Kedua
Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam,
dimana di sana tidak ada salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi
diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per
kepala).
Contoh 1
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang
saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara
laki-laki seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah
ini:
Perhatikan nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan
dari 6 menjadi 3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua
orang saudara laki-laki seibu 2/3.
Contoh
2
Seseorang wafat meninggalkan seorang
anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka
pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang cucu perempuan
keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:
Maka pembaginya dari 4, karena
jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak perempuan
adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.
Hukum
keadaan Ketiga
Apabila para ahli waris semuanya
dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari
suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya
ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya
dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Contoh
1
Seseorang wafat dan meninggalkan
suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya
3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini
memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya
secara pas, yakni sebagai berikut:
-
Suami: 2/8
-
Anak perempuan masing-masing
mendapatkan: 3/8
Contoh
2
Seseorang wafat dan meninggalkan
seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara
perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan
kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara perempuan seibu
secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak memerlukan
pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara
pas, yakni sebagai berikut:
-
Istri: 1/4
-
Saudara seibu masing-masing
mendapatkan: 1/3
Contoh
3
Seseorang wafat dan meninggalkan
seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri mendapatkan 1/8
bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8 merupakan bagian
kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka, yakni sesuai
jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli
waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
-
Istri: 5/40
-
Anak perempuan masing-masing
mendapatkan: 7/40
Hukum
keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan terdapat
ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula
suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau
istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut
bagiannya masing-masing.
Contoh
1
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan
1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara perempuan
seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya
sebagai berikut:
Nenek + Saudara Perempuan Seibu:
Pembagi diatas di radd kan dari 6
menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan
seibu 2/3. Pembagian akhir:
- Nenek = 1/3 x
3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan
kepada istri.
-
Dua orang saudara perempuan seibu =
2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing saudara perempuan seibu
mendapatkan 3/12.
-
Istri = 1/4 x 3/3 = 3/12.
Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di radd kan.
Contoh
2
Seseorang wafat meninggalkan istri,
dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8, dan sisanya 7/8
diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut bagiannya
masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Anak Perempuan + Ibu:
Pembagi diatas di radd kan dari 6
menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan ibu 1/4.
Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih, sehingga
bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8.
Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian
akhir:
-
Dua orang anak perempuan = 6/8 x 7/8
= 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan mendapatkan 21/64.
-
Ibu = 2/8 x 7/8 = 14/64.
-
Istri = 2/16 x 4/4 = 8/64.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment