Beliau adalah Al-Imam Abu Al-Hasan Ali
bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin
Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah
seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.
Beliau dilahirkan pada tahun 260 H/873 M di Bashrah, Irak. Al-Imam Abu
Al-Hasan Ali dikenal
dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demikian
juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Al-Imam Abu Al-Hasan Ali mengambil ilmu
kalam dari ayah tirinya, yaitu Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok
Mu’tazilah.
Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah,
beliau memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad
Zakariya bin Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah Al-Jumahi,
Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub Al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashri,
dan para ulama thabaqah mereka.
Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata di dalam
kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr
Ismail bin Abu Muhammad al-Qairawani berkata, ‘Sesungguhnya Abul Hasan
al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah
beliau seorang imam mereka. Suatu
saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke
Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke
mimbar seraya mengatakan:
“Wahai
manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu
karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-sama kuat
sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang bathil, maka aku memohon petunjuk kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepadaku yang aku tuliskan dalam kitab-
kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelumnya aku yakini,
sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau pun melepas baju beliau dan
beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan
fiqh membaca kitab-kitab tersebut mereka mengambil apa yang ada di dalamnya dan
mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan menjadikannya sebagai
imam.
Di antara murid-muridnya
adalah Abu Al-Hasan Al-Bahili, Abul Hasan Al-Karmani, Abu Zaid Al-Marwazi, Abu
Abdillah bin Mujahid Al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad Al-Iraqi,
Zahir bin Ahmad As-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr Al-Kawwaz
Asy-Syairazi, dan yang lainnya.
Di antara tulisan-tulisan beliau
adalah: Al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli
Tsaghr, Al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, Al-Mujaz, Al-Umad fi Ru’yah, Fushul
fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar,
Al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, Asy-Syarh wa Tafshil,
An-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu
ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul
Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah
Baghdadiyyah, al-Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam,
Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin, dan yang lainnya.
Al-Imam Ibnu Hazm berkata, “Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari memiliki 55 tulisan”.
Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari wafat
di Baghdad pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun. Semoga Allah meridhoinya
dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran
dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam.
Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ada beberapa faktor yang menyebabkan unculnya
berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi
pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan
golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan
lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor
Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber
ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang
menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang
menamakan dirinya sebagai ahlussunnah
wal jama’ah. Sunni dalam pengertian umum adalah
lawan dari kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini Mu’tazilah termasuk juga Asy’ariyah masuk dalam barisan sunni.
Sunni dalam arti khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan
mu’tazilah. Pengertian
kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Asy’ariyah
adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al Asy’ari. Al
Asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu
tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut
Ibnu Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham mu’tazilah
adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah sebanyak tiga
kali, dimana Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu’tazilah
dan membela faham yang diriwayatkan dari beliau.
Mereka diantaranya:
1. Al Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat
478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478
H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji (wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)
Adapun
formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya
sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain
sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat
ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat reaktif
terhadap mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran
yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (Tokoh Sunni yang
wafat pada 854 M).
1.
Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua
pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujasimah dan
musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan
daam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti
harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan mu’tazilah yang menolak
konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa,
mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat , tetapi substansi-Nya, sehingga
sifat-sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara
alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda
dengan mu’tazilah). Namun, tidak
boleh diartikan secara harfiah. Selanjutnya Al asy’ari berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampaknya mirip.
2.
Kebebasan dalam berkehendak
Menurut
Asy’ariyah, Allah
pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya
(muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk
keinginan manusia). Hal ini berbeda dengan mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri.
3.
Qodimnya Al-Qur’an
Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an
terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi
Allah karenanya tidak qodim. Menurut Asy’ariyah Al-Qur’an tidak diciptakan.
4.
Akal dan wahyu
Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah
mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan
buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan mu’tazilah pada akal.
5.
Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari
dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun Al-Asy’ari tidak setuju bahwa Allah
harus berbuat adil, sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun terhadap makhluk, karena Dia
penguasa Mutlak.
6.
Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi
menengah yang dianut mu’tazilah. Iman merupakan lawan kufur, predikat seseorang
haruslah salah satu dari keduanya. Jika tidak mu’min maka ia kafir. Mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mugkin hilang
karena dosa, kecuali oleh kafir hakiki.
Berdasarkan
beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Asy’ariyah
adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al-Asy’ari yang
sebelumnya beliau menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun, setelah
itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.
2.
Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memang memiliki
sifat-sifat, namun sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
3.
Menurut Asy’ariyah, Allah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakannya (muktasib).
4.
Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu, sehingga berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
pada wahyu, bukan dengan akal.
5.
Al-Asy’ari
setuju bahwa Allah itu adil, akan tetapi tidak setuju bahwa Allah harus berbuat
adil, sehingga Allah harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik.
6.
Iman merupakan lawan kufur, jika seseorang tidak mu’min maka ia dikatakan kafir.
7.
Mukmin yang
melakukan dosa besar, maka ia dikatakan mukmin yang fasik.
8.
0 komentar:
Post a Comment