• Silsilah Nabi dan Rasulullah SAW

    At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra; ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Wahai manusia, aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya, pasti kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan keturunanku.” (Al Jami ash Shahih; hadits 3786).

  • Fakta Unik Tentang Ka'bah

    Ka’bah merupakan kiblat shalat bagi seluruh umat Muslim sedunia. Lokasi Ka’bah berada di dalam wilayah Masjidil Haram yang terletak di kota Makkah, Arab Saudi.

  • 40 Fakta Unik Tentang Islam

    Sebagian orang masih banyak yang meragukan tentang kebenaran agama islam, tak kecuali adalah mereka yang telah mengaku sebagai muslim.

  • K.H. Ahmad Rifa'i Arief

    K.H. Ahmad Rifa'i Arief (lahir 30 Desember 1942 – meninggal 16 Juni 1997 pada umur 54 tahun) adalah seorang kiai perintis dan pendiri Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Pondok Pesantren La Tansa, Pondok Pesantren Sakinah La Lahwa, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE/STAI) La Tansa Mashiro.

  • Enta Eih

    Enta eih mesh kfaya aalaik Tegrahni haram aalaik ent eeih Enta laih dimooai habeebi tehoun aalaik Tab w laih ana radya enak tegrahni w roohi feek Tab w laih yaani eih radya beaazabi bain edaik (x2)

  • Just Believe In Your Dreams

    Percayalah pada apa yang anda rasakan di dalam. Dan memberikan impian anda sayap untuk terbang. Anda memiliki semua yang anda harapkan. Jika anda hanya percaya.

Tuesday 12 June 2012

Posted by Aswad Firmansyah Hanafi
No comments | Tuesday, June 12, 2012

BIOGRAFI




A.    AL-IMAM ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI


Beliau adalah Al-Imam Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.

Beliau dilahirkan pada tahun 260 H/873 M di Bashrah, Irak. Al-Imam Abu Al-Hasan Ali dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.

B.     GURU-GURUNYA


Al-Imam Abu Al-Hasan Ali mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, yaitu Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.

Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub Al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashri, dan para ulama thabaqah mereka.

Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al-Qairawani berkata, ‘Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar seraya mengatakan:

Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang bathil, maka aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepadaku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelumnya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.

Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut mereka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan menjadikannya sebagai imam.

C.    MURID-MURIDNYA


Di antara murid-muridnya adalah Abu Al-Hasan Al-Bahili, Abul Hasan Al-Karmani, Abu Zaid Al-Marwazi, Abu Abdillah bin Mujahid Al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad Al-Iraqi, Zahir bin Ahmad As-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr Al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.

D.    TULISAN-TULISANNYA


Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: Al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, Al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, Al-Mujaz, Al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, Al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, Asy-Syarh wa Tafshil, An-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al-Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin, dan yang lainnya.

Al-Imam Ibnu Hazm berkata, “Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari memiliki 55 tulisan.

E.     WAFATNYA


Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun. Semoga Allah meridhoinya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.




ASY’ARIYAH DAN PEMIKIRANNYA




Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ada beberapa faktor yang menyebabkan unculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.

Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini Mu’tazilah termasuk juga Asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam arti khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.




Asy’ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al Asy’ari. Al Asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham mu’tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah sebanyak tiga kali, dimana Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu’tazilah dan membela faham yang diriwayatkan dari beliau.





Mereka diantaranya:

1.      Al Baqilani (wafat 403 H)

2.      Ibnu Faruak (wafat 406 H)

3.      Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)

4.      Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)

5.      Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)

6.      Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)

7.      Al Ghazali (wafat 505 H)

8.      Ibnu Tumart (wafat 524 H)

9.      As Syihristani (wafat 548)

10.  Ar Razi (1149-1209 M)

11.  Al Iji (wafat 756 H)

12.  Al Sanusi (wafat 895)




Adapun formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (Tokoh Sunni yang wafat pada 854 M).

1.      Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujasimah dan musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan daam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat , tetapi substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, A
l-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan mu’tazilah). Namun,  tidak boleh diartikan secara harfiah. Selanjutnya Al asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.



2.      Kebebasan dalam berkehendak

Menurut Asy’ariyah, Allah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Hal ini berbeda dengan mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.



3.      Qodimnya Al-Qur’an

Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah karenanya tidak qodim. Menurut Asy’ariyah Al-Qur’an tidak diciptakan.



4.      Akal dan wahyu

Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al
-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan mu’tazilah pada akal.



5.      Keadilan
Pada dasarnya Al
-Asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun Al-Asy’ari tidak setuju bahwa Allah harus berbuat adil, sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun terhadap makhluk, karena Dia penguasa Mutlak.



6.      Kedudukan orang berdosa



Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Iman merupakan lawan kufur, predikat seseorang haruslah salah satu dari keduanya. Jika tidak mu’min maka ia kafir. Mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mugkin hilang karena dosa, kecuali oleh kafir hakiki.




PENUTUP




Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1.      Asy’ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al-Asy’ari yang sebelumnya beliau menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun, setelah itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.

2.      Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat, namun sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

3.      Menurut Asy’ariyah, Allah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).

4.      Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sehingga berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, bukan dengan akal.

5.      Al-Asy’ari setuju bahwa Allah itu adil, akan tetapi tidak setuju bahwa Allah harus berbuat adil, sehingga Allah harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.

6.      Iman merupakan lawan kufur, jika seseorang tidak mu’min maka ia dikatakan kafir.

7.      Mukmin yang melakukan dosa besar, maka ia dikatakan mukmin yang fasik.


8.       

0 komentar:

Post a Comment

Followers

Animated Cool Shiny Blue Pointer
Powered By Blogger