Sunday 2 December 2012
Posted by Aswad Firmansyah Hanafi
No comments | Sunday, December 02, 2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun mampu menyelesaikan
makalah yang membahas tentang Ibnu Rusyd dan pemikiran serta filsafatnya dengan
baik.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan kita sebagai para
pengikutnya sampai akhir zaman.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
banyak memiliki kekurangan. oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan oleh penyusun untuk perbaikan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penyusun mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini
terselesaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan
para pembaca umumnya.
Serang, 02 Desember 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Berfilsafat adalah bagian dari
peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul didunia pasti memiliki
filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan bahwa
yang berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang yunani. Diantara
filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat yunani adalah filsafat Persia,
cina, India, dan tentu saja filsafat islam.
Di
Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal
bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat
peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan
muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca:
masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan
terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga
dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di
Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari
Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah
memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan
kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari
Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu
Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak
memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga
ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.
Tokoh yang paling popular dan
dianggap paling berjasa dalam membuka mata barat adalah Ibnu Rusyd. Dalam dunia intelektual barat,
tokoh ini lebih dikenal dengan nama averros. Begitu populernya Ibnu Rusyd dikalangan barat, sehingga
pada tahun 1200-1650 terdapat sebuah gerakan yang disebut Averroisme yang
berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd. Maka dari itu pada
kesempatan kali ini pemakalah mencoba untuk mengkaji filsafat Ibnu Rusyd.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1)
Untuk mengetahui biografi dan riwayat hidup Ibnu Rusyd
2)
Untuk mengetahui pemikiran agama dan filsafat Ibnu Rusyd
3)
Untuk mengetahui pendapat Ibnu Rusyd tentang Tuhan, akal
dan jiwa manusia serta keazalian alam
BAB II
PEMBAHASAN
IBNU RUSYD
A. Biografi dan
Riwayat Hidup
Nama lengkapnya
adalah Muhammad Ibnu Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau Abu
Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova, 1126M (520 H). Ia
berasal dari keluarga ilmuan. Ayahnya dan kakeknya adalah para pencinta ilmu
dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol. Ayahnya adalah Ahmad Ibnu
Muhammad (487-563 H) adalah seorang fqih (ahli hokum islam) dan pernah
menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad
(wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan imam mesjid Cordova
serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan
kakeknya Ibnu Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu
Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy) Maroko atas permintaan Ibnu
Thufail (w. 581 H/1185 M), yang kemudian memperkenalakannya dengan khalifah
Abu Ya’qub Yusuf. Dalam pertemuan pertama anatara Ibn Rusyd
dengan Khalifah terjadi proses Tanya jawab diantara keduanya tentang asal-usul
dan latar belakang Ibnu Rusyd, selain itu mereka juga membahas tentang
berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd menyangka bahwa petanyaan ini
merupakan jebakan khalifah, karna persoalan ini sangat kurasial dan sensitif
ketika itu.
Ternyata dugaan itu meleset. Khalifah
yang pencinta ilmu
ini malah berdiskusi dengan Ibnu Thufail tentang masalah-masalah di
atas. Khalifah Abu ya’kub dengan fasih dan lancar menjelasan
persoalan-persoalan itu dan mengutif pendapat-pendapat seperti plato dan
aristoteles. Khalifah dan Ibnu Thufail, sama-sama terlibat dalam diskusi
yang berat. Terlihat bahwa khalifah yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini
sangat menguasai persoalan ilmu filsafat pendapat-pendapat mutakallimin atau
teolog Plato dan Aristiteles. Ibnu Rusyd kagum pada
pengetahuan khalifah tentang filsafat. Karenanya ia pun berani menyatakan
pendapatnya sendiri. Pertemuan pertama ini ternyata membawa berkah bagi Ibnu
Rusyd. Ia diperintahkan oleh khalifah untuk menterjemahkan karya-karya aristoteles
menafsirkannya. Pertemuan itu pun mengantarkan Ibnu Rusyd untuk
menjadi qodhi di sevile setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat
menjadi hakim agung di kordoba, selain tu pada tahun 1182 ia kembali ke istana muwahidun di marakhes
menjadi dokter pribadi khalifah pengganti Ibnu Thufail.
Pada tahun 1184 khalifah Abu Yakub
Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Abu Yusuf Ibnu Ya’kub
Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah ini menghormati Ibnu Rusyd
sebagaimana perlakuan ayahnya, namun pada 1195 mulai terjadi kasak-kusuk
dikalangan tokoh agama, mereka mulai menyerang para filsafat dan filosof.
Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibnu Rusyd. Ia harus berhadapan oleh
pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan punya kepentingan serta
ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara mereka pun memfitnah Ibnu Rusyd.
Akhirnya Ibnu Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya.
Pada tahun 1195 ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi
yang terletak sekitar 50 km di sebela selatan cordova. Buku-bukunya dibakar di
depan umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta
astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh
fukaha’ dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd
Allah ibn Ibrahim (hakim di afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’
al-Khalif dan Nafish Abu al-‘Abbas.
Menurut Nurcholish, penindasan dan hukuman
terhadap Ibn Rusyd ini bermula karena
Khalifah al-Mansyur ringin mengambil hati para tokoh agama yang biasanya
memiliki hubungan emosional dengan masyarakat awam. Khalifah melakukan hal ini
karena didesak oleh keperluan untuk memobilisasi rakyatnya menghadapi
pemberontakan orang-orang Kristen Spanyol. Disamping itu,hal yang cukup
menarik, sikap anti kaum muslim Spanyol terhadap filsafat dan para filosof
lebih keras daripada kaum muslim Maghribi atau Arab. Ini digunakan oleh
pimpinan-pimpinan agama untuk memanas-manasi sikap anti terhadap filsafat dan
cemburu kepada filosof.
Setelah pemberontakan berhasil
dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukkan sikap dan
kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikirab kreatif Ibn
Rusyd, sutau sikap yamg sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al-
Mansyur merehabilitasi Ibn Rusyd dan
memanggilnya
kembali ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak
lama setelah itu, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rusyd meninngal
dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan
ke kampung halamannya, Cordova.
B. Pemikiran Ibnu Rusyd
Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu
dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran
pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian
sarjana dan ulama islam. Reaksi
al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya
menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai
pemikiran sesat dan kufur.
Terhadap reaksi dan sanggahan
tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan
kesesuaian
ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan al-Ghazali dengan argumen-argumen yang
tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya. Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut
(The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Sebuah
buku yang sampai ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-bukunya
yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan jelas
pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini
lebih terkenal dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat
dari serangan al-ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak
bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya
tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya
pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan
akalnya, seperti yang jelas dalam Firman
Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit
dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan
firman Allah surah Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil
Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar
hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias akali, karena yang dimaksud
dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari
apa yang belum diketahui.
Akan tetapi,
dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan
jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat
diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambang
atau simbol bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat
al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam
hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
Dalam
masalah pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa
Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang kulliyat
(umum, universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini telah salah paham
terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof adalah bahwa
pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda dengan pengetahuan
manusia.
Pengetahuan manusia adalah
mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang ditangkapnya oleh panca indera,
sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya rincian tersebut.
Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat
qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di
alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat-sifat
kulliyat atau juz’iyyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan
kepada makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui
kecuali oleh Tuhan sendiri.
Ibnu Rusyd
mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles
berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal
partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui
persoalan-persoalan kecil di daerahnya.
Pendapat
Aristoteles itu disetujuinya dengan didasarkan atas argumen sebagai berikut :
Yang
menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik. Tuhan itu merupakan akal yang murni
bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal
yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada
persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula
tidak mungkin Tuhan itu mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak
ada zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang
diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau
Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu
berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan hal hal yang kurang sempurna
daripada-Nya. Ini adalah tidak wajar. Maka
sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri.
Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala
jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.
Maksud
pemikiran Ibnu Rusyd adalah, Tuhan itu haruslah
berupa suatu akal yang tertinggi. Penciptaan haruslah berawal dari akal
pertama, yang memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan seterusnya hingga
akal kesepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui secara universal dan tidak
mengetahui masalah juz’iyat atau hal-hal partikular adalah,
bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, haruslah Ia sudah mengetahui
segala perincian dari awal, ketika Ia menciptakan alam. Jadi kalau Tuhan
mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan, karena
pengetahuan partikular adalah pengetahuan yang didapat dari proses “tidak tahu
menjadi tahu”. Kalau Tuhan itu mengetahui secara
partikular, berarti sebelumnya Tuhan ‘tidak mengetahui’ hal partikular
tersebut, kemudian setelah hal-hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika
akal Tuhan bergerak dari “tidak tahu
menjadi tahu”, maka Ia tidak layak disebut Tuhan.
Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk perincian
(yang partikular) dari awal penciptaannya secara universal.
Ibnu Rusyd
menyetujui argumen Aristoteles dan Ibnu Sina, tetapi Al Ghazali membantah keras
argumen tersebut. Ibn Rusyd menentang Al Ghazali dan tetap membela argumen
Aristoteles dan Ibn Sina. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap
juziyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat memahami maksud dari para ahli
filsafat. Maksud para ahli filsafat tersebut adalah memungkiri pengetahuan
Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang
biasa. Sebagai penganut Aristoteles, ia mencari jalan dengan begitu saja
meninggalkan pendapat Aristoteles disamping ia juga tetap tidak mau
meninggalkan prinsip-prinsip agama.
Manusia menurut Ibnu Rusyd,
mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani. Kedua gambaran
itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan adalah
gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari
materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini
memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan
akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua
pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia memperolehnya. Pengetahuan
inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan pengetahuan aqli
diperoleh lewat akal, pemahamannya dilakukan dengan penalaran atau pikiran.
Akal sendiri dibagi menjadi dua
jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal teoritis.
Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini dimiliki oleh semua
manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga memiliki
pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk
memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal. Perkembangan akal manusia
menunjukkan benar adanya, buktinya dari sekian banyak manusia tidak semuanya
berfikir sama dan cara mengambil kesimpulanpun berbeda pula, tergantung pada
tingkat kecerdasan intelektualis manusia tersebut.
Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan yang terjadi antara
kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta
ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada) sebagaimana
pendapat al-Ghazali. Menurut Rusyd dari yang tidak ada tidak mungkin menjadi
ada, tetapi mungkin terjadi adalah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam
bentuk lain. Lebih lanjut Rusyd mengatakan tidak ada ayat yang menunjukkan
bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain Allah
dan kemudian barulah dijadikan alam, seperti tersebut dalam surat Hud ayat 7
berikut ini:
”Dan Dia-lah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya
(sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih
baik amalnya ".
Inti dari ayat di atas menurut pemahaman Ibnu Rusyd
adalah sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud lain yaitu air atau
uap, kemudian Allah menciptakan bumi dengan air atau uap tersebut. Memang alam
ini betul diwujudkan atau diciptakan kata Rusyd, tetapi diwujudkan secara terus
menerus, artinya penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk
perubahan alam yang berkelanjutan, semua bagian alam akan berubah dalam bentuk
baru menggantikan bentuk lama. Pencipta alam hanya dilakukan
sekali saja.
Adapun
keabadian alam ini menurut Rusyd ada dua macam keabadian yaitu keabadian dengan
sebab dan keabadian tanpa sebab. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan
alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara.
Perbedaan pendapat al-Ghazali dan teolog lainnya dengan
pemikiran Ibnu Rusyd hanya pada penamaan saja, tetapi subtansinya tidak ada
beda satu sama lain. Penulis yakin tidak ada yang salah
dengan Ibnu Rusyd, barangkali berbeda sudut pandang saja. Andaikata mereka
hidup dalam satu zaman mungkin perdebatan itu tidak akan terjadi, sebab mereka
sendiri pada dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud yaitu: Sisi wujud
yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri
dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan (materi)
tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang
tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya.
Wujud ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah
(tercipta setelah tidak ada).
Sisi wujud yang kedua berseberangan dengan sisi tersebut
di atas adalah wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun,
tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi
wujud ini juga disepakati, untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa
permulaan). Wujud ini adalah Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.
Ketiga sisi
wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal
dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi keberadaannya
disebabkan oleh suatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta
dengan segala perangkatnya. Mereka semua setuju adanya tiga sifat tersebut pada
alam semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta,
karena zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Jadi letak
permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan memiliki
persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.
Menurud Ibnu
Rusyd alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa
bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya
saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam.
Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam.
Untuk
memperkuat argumennya, ia menyatakan pembelaannya sebagai berikut: Seandainya
alam ini tidak azali, ada permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru),
mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang
menjadikan pula. Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai
seperti itu (tasalsul) dengan tiada berkeputusan akan merupakan hal yang tidak
dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadis (baru).
Karena
diantara Tuhan dengan alam ada hubungan, meskipun tidak sampai pada masalah
perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan
sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali,
meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa penjelasan serta analisis yang
penulis paparkan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
·
Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Muhammad Ibnu Ahmad bin
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau Abu Al-Walid atau Averroes
lahir di Cordova, 1126M (520 H) Ia berasal dari keluarga ilmuan.
·
Ibnu Rusyd pernah menjadi
qodhi di sevile setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim
agung di kordoba, selain tu pada tahun 1182 ia kembali ke istana muwahidun
di marakhes menjadi dokter pribadi khalifah pengganti Ibnu Thufail.
·
Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak
bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya
tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya
pencipta.
·
Ibnu Rusyd
mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles
berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal
partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui
persoalan-persoalan kecil di daerahnya.
·
Manusia menurut Ibnu Rusyd,
mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani. Kedua gambaran
itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran).
·
Menurud Ibnu
Rusyd alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa
bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya
saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam.
Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam.
Saran
Berdasarkan
pembahasan, saran pemakalah adalah sebagai
generasi penerus harus paham dan mengerti dengan pemikiran tokoh Islam agar
pemikiran tersebut tidak dibajak oleh orang non muslim. Ketidak pedulian
tersebut yang menjadi sebab utama dalam kemundurun Islam serta orang menjadi
pasif dan jumud dalam bertindak.
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-ghazali-versus-ibnu-rusyd-metafisika.html
Subscribe to:
Posts (Atom)