Bab
I
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Manfaat Mempelajari Akhlak
A. Definisi
Ilmu Akhlak
Adapun
definisi dari akhlak secara bahasa adalah perangai, watak dasar, kebisaan,
kelaziman dan peradaban yang baik. Sedangkan
pengertian akhlak menurut istilah sebagaimana menurut Ibnu Maskawaih (w.421 H/1030 M) yakni :
حَالــــٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ
الَهَا إِلَى أَفْعَا لِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلاَ رُوِيَةٍ
Artinya : “Sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”.
Ciri-ciri dalam perbuatan akhlak antara lain:
1. Perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga
telah menjadi kepribadinannya.
2. Perbuatan
akhlak adalah perbutan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini
tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan
dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
3. Perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya,
tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4. Perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang dikalakukan dengan sesungguhnya, bukan
bermain-main atau bersandiwara.
5. Sejalan
dengan ciri ke empat perbuatan akhlak (khusus perbuatan baik) adalah perbuatan
yang dilakuakna karena ikhlas semata-mata karena Allah SWT.
Maka,
pengertian ilmu akhlak yaitu “Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang
nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan
dengan baik atau buruk.” Atau ilmu akhlak dapat juga disebut dengan“Ilmu yang berisi pembahasan
dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum
kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbautan tersebut tergolong baik atau
buruk.”
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Akhlak
Objek
pembahasan ilmu akhlak adalah perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan
penilaian apakah baik atau buruk, dan mempunyai ciri-ciri yang telah disebutkan
diatas yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan, telah
dilakukan secara continue sehingga menjadi tradisi dalam kehidupannya.
C. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Menurut Ahmad
Amin, manfaat mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yaitu menyebabkan
kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian
yang lainnya sebagai yang buruk.
Sedangkan
dalam pandangan Mustafa Zahri, manfaat mempelajari ilmu akhlak adalah untuk
membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati
menjadi suci bersih seperti cermin yang dapat menerima Nur (cahaya) Allah.”
Bab II
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Lainnya
A. Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tasawuf
Para ahli
tasawuf membagi ilmu tasawuf ke dalam tiga bagian yang berbeda dalam hal
pendekatannya, yaitu sebagai berikut:
1. Tasawuf
falsafi yaitu pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran.
2. Tasawuf
akhlaki yaitu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang
tahapannya terdiri dari takholli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk),
tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji) dan tajalli (terbukannya
penghalang atau hijab).
3. Tasawuf
amali yaitu pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan amaliyah atau wirid yang selanjutnya mengambil bentuk tarekat.
B. Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tauhid
a) Dilihat
dari segi pembahasannya, ilmu
tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya.
Dengan demikian ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas,
dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak terpuji.
b) Dilihat dari
segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak
hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja,
tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan
mencontoh terhadap subjek yang ada dalam rukun iman itu. Hubungan
ilmu tauhid dan ilmu akhlak dapat pula dilihatdari eratnya kaitan antara iman
dan amal sholeh.
C. Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Jiwa
Dilihat
dari segi garapannya, ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang
tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat
psikologis yang dimiliki seseorang.
Para ahli telah banyak menghasilkan pembinaan akhlak yang
telah dilakukan dengan menggunakan jasa yang diberikan ilmu jiwa, seperti yang
dilakukan para psikolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berprilaku
menyimpang dan lain sebagainya.
D. Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Pendidikan
Dalam
ilmu pendidikan antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi
pelajaran, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan bimbingan, proses
belajar mengajar dan lain sebagainya. Semua aspek pendidikan tersebut ditujukan
pada tercapainya tujuan pendidikan, adapun tujuan pendidikan ini dalam
pandangan islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak atau
identik dengan tujuan seorang Muslim yaitu menjadi hamba Alloh yang mengandung
implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya.
E. Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Filsafat
Para
filosof Muslim seperti Ibnu Sina (980-1037M) dan Al-Ghazali (1059-1111M)
memiliki pemikiran tentang manusia seperti terlihat dalam pemikirannya tentang
jiwa. Ibnu Sina misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan
tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di
dunia ini.
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan
ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu akhlak, perlu
juga melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di
atas. Selain itu uraian tersebut di atas menunjukan dengan jelas bahwa ilmu
akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai
permasalahan lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.
Bab III
Induk Akhlak Islami
Secara umum,
akhlak dibagi dalam dua bagian, yaitu:
1. Akhlak baik
(al-akhlak al-karimah)
2. Akhlak buruk
(al-akhlak al-mazmumah).
Sedangkan
secara teoritas, macam-macam akhlak berinduk kepada tiga bagian yaitu sebagai
berikut:
1. Hikmah
(bijaksana)
2. Syaja’ah
(perwira atau kesatria)
3. Iffah
(menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat)
Ketiga macam
induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang
dalam mempergunakan tiga potensi rohani yang terdapat dalam diri manusia, yaitu
‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghodob (amarah) yang berpusat di
dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang
digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan
secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan
secara adil akan menimbulkan sikap iffah yaitu dapat memelihara diri dari
perbutan dosa dan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada
akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang
dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam Al-Qur’an kita
jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Salah
satunya sebagai berikut firman Allah SWT:
Artinya : “
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”(QS. An-Nisa, 58)
Bab IV
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Akhlak
A. Ilmu Akhlak Di Luar Agama Islam
1. Akhlak
pada Bangsa Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu
akhlak pada masa Yunani bar terjadi setelah munculnya apa yang disebut
Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Dasar yang
digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat
tentang manusia atau pemikiran tentang manusia.
Pandangan
dan pemikiran filsafat yang dikemukan para filosof Yunani itu secara
redaksional berbeda-beda, tetapi subtansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan
angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik dan merdeka dan
mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah air.
Keseluruhan ajaran akhlak yang
dikemukan para pemikir Yunani tampak bersifat rasionalistik. Penentuan baik dan
buruk di dasarkan pada pendapat akal dan pikiran yang sehat dari manusia.
Karenanya tidaklah salah kalau dikatakan bahwa ajaran akhlak yang dikemukan
para pemikir Yunani ini bersifat anthropocentris (memusat pada manusia).
2. Akhlak
pada Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga masehi
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi
pemikiran manusia adan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam
kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan merupakan sumber akhlak.
Tuhanlah yang menetukan bentuk patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan
dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan
baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa yang disebut baik adalah perbuatan yang
disukai Tuhan serta berusaha melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan
demikian ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centri
(memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin).
3. Akhlak
pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa pada
abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi
filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja
berkeyakinan bahwa kenyataan “haikikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang
diperintahkan wahyu tentu benar adanya. Dengan demikian ajaran akhlak yang
lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun
dari perpaduan ajaran Yunani dan ajaran Nasrani.
4. Akhlak
pada Bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah
tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak pada aliran tertentu. Hal yang
demikian sebagai akibat dari tidak berkembangnyakegiatan ilmiah di kalangan
masyarakat Arab. Pada waktu itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah
dan ahli syair. Di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai
ajaran yang memrintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong
pada perbuatan yang utama dan menjauhi perbuatan yang hina dan tercela.
B. Akhlak Pada Agama Islam
Kitab Al-Qur’an adalah sumber utama dan
mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian
pengetahuan tentang aqidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumapai sumber
yang aslinya di dalam Al-Qur’an. Allah
SWT berfirman:
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (QS. An-Nahl, 90)
Perhatian Islam terhadap
pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dijelaskan dengan menunjukan universalitas
Al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia. Hasil penelitian Thabathabi
terhadap kandungan Al-Qur’an
mengenai jalan yang harus ditempuh manusia itu
ada tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
1. Menurut
petunjuk Al-Qur’an, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan,
ketengan dan pencapaian cita-citanya.
2. Perbuatan-perbuatan
yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan
hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa diingkari,
dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Dengan
demikian perbuatan tersebut dapat bernilai akhlak apabila dilakukan dengan
tulus ikhlas dan pilihan sendiri.
3. Jalan
hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan
berdasarkan emosi dan hawa nafsu.
C. Akhlak Pada Zaman Baru
Eropa mengalami kebangkitan dalam
bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli bangsa Eropa
termasuk Italia mulai meningkatkan dalam kegiatan dalam budang filsafat Yunani,
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan mereka yang sebelumnya
terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan
peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang
selama ini dianggap mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui, hingga
akhirnya mereka menetapkan pola bertindak dan berpikkir secara liberal.
Diantara masalah yang mereka
kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka
bangun didasarkan pada penyelidikan dan kenyataan empirik dan tidak mengikuti
gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama.
Sumber akhlak yang semula berasal dari al-kitab, dogma kristiani dan khayalan
mereka ganti dengan ajaran akhlak yang bersumber pada logika dan pengalaman
empirik. Hal yang demikian pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan
etika dan moral yang berbasih pada pemikiran akal pikiran.
Pada abad baru ini sudah banyak
tokoh pemikir
akhlak yang lahir. Di antaranya Desacartes adalah seorang ahli filsafat Prancis
yang hidup antaea tahun 1596-1650 M. Pndangannya mengenai akhlak sangat
rasionalistik dan empirik. Ia tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh
akal dan penelitian empirik. Segala sesuatu yang didasarkan pada sangkaat dan
apa yang tumbuh dari adat kebiasaan.
Selanjutnya Shafesbury dan
Hatshson adalah kedua tokoh yang memiliki pandangan akhlak yang berdifat
anthropocentris (mendasarkan diri pada kemampuan manusia). Kedua tokoh tesebut
berkata bahwa di dalam diri manusia terdapat indra insting yang dapat
mengetahui dengan sendirinya terhadap sesuatu yang baik atau buruk.
Pokok pembahasan tentang intuisi
diklarifikasikan menjadi empat, yaitu:
1. Intuisi
mencari hakikat atau pengetahuan. Dengan intuisi ini banyak manusia yang
menghabiskan usianya untuk diabdikan kepada pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Intuisi
etika dan akhlak, yakni cenderung kepada kebaikan.
3. Intuisi
estetika yakni cenderung kepada segala sesuatu yang mendatangkan keindahan.
4. Intuisi
agama, yakni perasaan meyakini adanya yang menguasai alam dengan segala isinya,
yakni Tuhan.
Bab V
Etika Moral Dan Susila
A. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani,
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia ,
etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral.
Sedangkan etika dari segi istilah
telah dikemukan para ahli dengan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandangnya. Ahmad Amin berpendapat bahwe etika adalah ilmu yang menjelaskan
arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, tujuan
yang harus dituju manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Sebenarnya masih banyak lagi
pendapat para ahli tentang pengertian etika. Namun dapat disimpulkan bahwa
etika berhubungan dengan empat hal, yaitu:
1. Dilihat
dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan
manusia.
2. Dilihat
dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat, sebagai
hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula
universal. Ia terbatas, dapat diubah, memiliki kekurangan dan kelbihan, dan
sebagainya.
3. Dilihat dari
segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbutan tersebut
dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya.
4. Dilihat
dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan zaman.
B. Moral
Moral menurut segi bahasa berasal dari bahasa
latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bawa moral adalah penentuan baik buruk
terhada perbuatan dan kelakuan.
Menurut segi istilah moral adalah
suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, peringai,
kehendak, pendapat atau perbuatan secara layak dapat dikatakan benar, salah,
baik atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral
dijumpai juga dalam The Anvenced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam
buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip
yang berkenaan dangan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan
untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3. Ajaran
atau gambaran tingkah laku yang baik.
Jika etika dan moral tersebut dihubungkan satu dan yang
lainnya kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang
sama, yaitu sama-sama membahas perbutan manusia untuk selanjutnya ditentukan
posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal
antara etika dan moral memiliki perbedaan, yaitu:
1. Kalau dalam
pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran
moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang berkembang dan
berfungsi di masyarakat. Dengan demikian etika lebih
bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep.
2. Kesadaran
moral dapat juga berwujud rasional dan obyektif, yaitu suatu perbuatan yang
secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang obyektif dan dapat
berlaku secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu
dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis
3. Kesadaran
moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan, atas kesadaran moralnya
seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan prilakunya dan di
dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
C. Susila
Susila atau kesusilaan berasal
dari bahasa Sansekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik dan sila berarti
dasar.
Kata susila kemudian digunakan
untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang yang susila adalah orang
yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang asusila adalah orang yang berkelakuan
buruk. Para pelacur misalnya diberi gelar tuna susila.
Kesusilaan lebih mengacu kepada
upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan hidup
yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kesusilaan
menggambarkan keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-nilai yang dipandang
baik.
D. Hubungan Etika, Moral Dan Susila Dengan Akhlak
Dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa
etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari
suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya.
Perbedaan moral, etika, susila
dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan
baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat
akal dan pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku
umum dimasyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menetukan baik
dan buruk itu adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Perbedaan lain antara etika,
moral, dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika
etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak
bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan
moral dan susila besifat lokal dan individual.
Namun demikian etika, moral,
susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan saling membutuhkan. Uraian
diatas menjelaskan bahwa moral, etika dan susila berasal dari produk rasio dan
budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik
bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni
ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain jika
etika, moral dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak berasal dari
Tuhan.
Bab
VI
Baik Dan Buruk
A. Definisi Baik Dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah
terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa
Inggris. Baik atau kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang
luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.
Adapun yang disebut buruk dalam
bahasa Arab adalah syar, atau sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang
baik dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
B. Penentuan Baik Dan Buruk
1. Baik
Buruk Menurut Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik dan buruk
ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan adat-istiadat yang
berlaku dan dipegang tegunh oleh masyarakat. Adat istiadat selanjutnya disebut
pula sebagai pendapat umum.
2. Baik
Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Menurut paham ini perbuatan baik
adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelzatan, kenikmatan dan kepuasan
nafsu biologis.
3. Baik
Buruk Menurut Paham Utilitarisme
Secara harfiah utilis artinya
berguna. Menurut paham ini bahwa yang dikatakan baik adalah yang berguna.
4. Baik
Buruk Menurut Paham Vitalisme
Menurut paham ini yang baik
adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan
yang menaklukan orang lain yang lemah dianggap baik. Paham ini lebih lanjut
cenderung pada sikap binatang, dan berlaku siapa yang kuat dan menang itulah
yang baik.
5. Baik
Buruk Menurut Paham Religionisme
Menurut
paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dangan kehendak
Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan.
6. Baik
Buruk Menurut Paham Evolusi
Menurut Herbert Spencer
(1820-1903) mengatakan bahwa perubahan akhlak itu tumbuh secara sederhana,
kemudian meningkat sediktit demi sedikit berjalan kearah cita-cita yang dianggap
sebagai tujuan. Perbuatan itu baik jika seuai dengan cita-cita itu dan buruk
jika jauh daripadanya. Sedangkan tujuan hidupa manusia adalah mencapai
cita-citanya atau paling tidak mendekati sedikit mungkin.
C. Sifat Dari Baik Dan Buruk
Sifat dan corak baik buruk yang
didasarkan pada pandangan filsafat yaitu sesuai dengan sifat filsafat itu yakni
berubah, realatif nisbi, dan tidak universal.
Sifat dari baik dan buruk yang
demikian itu tetap berguna sesuai dengan zamannya, dan ini dapat digunakan
untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak
yang bersumber dari ajaran Islam.
D. Baik Dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Menrurut ajaran Islam penentuan
baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika
kite perhatikan Al-Qur’an maupun hadits banyak istilah yang mengacu kepada
baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada buruk. Di antara istilah yang
mengacu pada baik misalnya hasanah, thoyyibah, khairoh, karimah, mahmudah,
azizah dan birr.
Adanya istilah kebaikan yang
demikian variatif yang diberikan Al-Qur’an dan Hadits itu menunjukan bahwa
penjelasan terhadap sesuatu yang baik menurut ajaran Islam itu jauh lebih
lengkap dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya.
Bab
VII
Kebebasan, Tanggung Jawab, Dan Hati Nurani
A. Pengertian Kebebasan
Ada dua pendapat yang menjelaskan tentang kebebasan
manusia. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki
kehendak bebasa dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauaannya
sendiri. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan untuk melakukan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan
oleh Tuhan
Dilihat
dari sifatnya kebebasan terbagi tiga, yaitu:
1. Kebebasan
jasmaniah yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan memperguanakan anggta badan
yang kita miliki.
2. Kebebasan
kehendak (roahaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan
kebebasan kehendak adalah sejauh kemungkinan untuk berpikir, karena manusia
dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja.
3. Kebebasan
moral yang dalam arti luas berarti tidak ada macam macam-macam ancaman,
tekanan, larangan, dan lain desakan yang berupa paksaan fisik. Dan dalam arti
sempit berarti tidak ada kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan
untuk bertindak.
B. Tanggung Jawab
Sikap moral yang dewasa adalah
sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.
Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.
Dalam kerangka tanggung jawab,
kebebasan mengandung arti:
1. Kemampuan
untuk menentukan dirinya sendiri
2. Kemampuan
untuk bertnaggung jawab
3. Kedewasaan
manusia
4. Keseluruhan
kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuana hidupnya
Dengan demikian tanggung jawab
dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Uraian
tersebut menunjukan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesenjangan atau
perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran.
C. Hati Nurani
Hati nurani adalah tempat dimana
manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini
selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.
Karena sifat yang demikian itu,
maka hati nurani harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam melaksanakan
kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi
hati nuraninya.
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani Dangan Akhlak
Masalah kebebasan, tanggung jawab
dan hatu nurani adalah faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara
kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam
membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalakan pembahasan mengenai
kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.
Bab VIII
Hak, Kewajiban Dan Keadilan
A. Hak
1. Pengertian
dan Macam-Macam Hak
Hak dapat diartikan wewenang yang
secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan
atau menuntut sesuatu.
Dalam perkembangannnya kata hak
atau al-haqq dalam Al-Qur’an digunakan untuk empat pengertian, yaitu:
1. Untuk
menunjukan pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah. Penggunaan
al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai dalam contoh ayat berikut:
Artinya : ”Kemudian mereka (hamba
Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya (haq).
ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. dan Dialah Pembuat
perhitungan yang paling cepat.”(QS. Al-An’am : 62)
2. Kata
al-haqq diguanakan untuk menunjukan kepada sesuatu yang diaadakan yang
mengandung hikmah misalnya Alloh SWT menjadikan matahari dan bulan dangan
al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Contoh ayat:
Artinya : “Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus : 5)
3. Kata
al-haqq digunakan untuk menunjukan keyakinan terhadap sesuatu yang cocok dengan
jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan, akhirat,
pahala, siksaan, surga dan neraka. Contoh ayat:
Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka
Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah
selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”(QS.
Al-Baqoroh : 213)
4. Kata al-haqq digunakan untuk menunjukan
terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar yang seharusnya
dilakukan sesuai keadaaan waktu dan tempat. Contoh ayat:
Artinya : “Andaikata kebenaran
itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,”(QS.
Al-Mu’minun : 71)
2. Macam-Macam
dan Sumber Hak
Ada bermacam-macam hak dan ada
dua faktor yang menyertainya, yaitu:
1. Faktor
yang merupakan hal ( obyek) yang dihakki (dimiliki) yang selanjutnya disebut
hak obyektif. Hak ini baik berupa fisik maupun non fisik
2. Faktor
orang (subyek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat
itu, yang selanjutnya disebut hak subyektif.
B. Kewajiban
Karena hak merupakan wewenang dan
bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain kewajiban
itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak-hak
orang lain.
C. Keadilan
Sejalan dengan adanya hak dan
kewajiban itu maka timbul pula keadilan. Poedjawijatna mengatakan bahwa
keadilan adalah pengakuan dan perlakuan hak (yang sah). Sedangkan menurut Islam
keadilan adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan pada persamaan atau
bersikap tengah-tengah atas dua perkara.
Demikian pentingnya masalah
keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban ini Alloh SWT berfirman:
Artinya : “Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
An-Nahl : 90)
D. Hubungan Hak, Kewajiban Dan Keadilan Dengan Akhlak
Hak merupakan bagian dari akhlak,
karena akhlak harus dilakukan oleh sesorang sebagai haknya. Akhlak yang
mendarah daging itu kemudian menjadi keperibadian dari seseoarang yang darinya
timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa rasa berat. Sedangkan keadilan dalam
teori pertengahan ternyata merupakan induk akhlak. Dengan terlaksananya hak,
kewajiban dan keadilan maka akan mendukung terciptanya akhlaki.
Bab
IX
Akhlak Islami
A. Pengertian Akhlak Islami
Akhlak Islami adalah perbuatan
yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebenarnya dan
didasarkan pada ajaran Islam.
B. Ruang Lingkup Akhlak Islami
1. Akhlak
Terhadap Allah
Akhlak
kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Alloh sebagai Kholiq. Empat
alasan mengapa manusia perlu berkahlak kepada Alloh, yaitu karena:
a) Allah
lah yang telah menciptakan manusia
b) Allah
lah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra.
c) Allah
lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi
kelangsungan hidup manusia.
d) Allah
lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikan kemampuan menguasai daratan
dan lautan.
2. Akhlak
Terhadap Sesama Manusia
Banyak sekali rincian yang
dikemukan Al-Qur’an berkaitan dengan akhlak terhadap sesama manusia. Petunjuk
mengenai bukan hanya berupa melakukan hal-hal negatif seperti membunuh,
mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti
hati dengan cara menceritkan aib seseorang dibelakngnya, dll.
3. Akhlak
Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud lingkungan disini adalah segala sesuatu yang ada
disekitar manusia. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Bab
X
Pembentukan Akhlak
A. Arti Pembentukan Akhlak
Masalah pembentukan akhlak sama
dengan tentang tujuan pendidikan. Jadi pembentukan akhlak atau tujuan
pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk
menjadi hamba Alloh, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya
dengan memeluk agama Islam.
B. Metode Pembinaan Akhlak
Pembinaan alhlak merupakan
tumpuan pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi
kerosulan Nabi Muhammad SAW yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.
Pembinaan akhlak dalam Islam juga
terintegrasi dengan pelaksanaan rukun Islam, karena dalam rukun Islam yang lima
itu terkandung konsep pembinaan akhlak.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak
Untuk
menjelaskan faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan
pendidikan pada umunya, ada tiga aliran yang suadah amat populer, yaitu:
a. Aliran
Nativisme
Menurut aliran ini bahwa faktor
yang paling berpengaruh dalam pembentukan akhlak adala fkator bawaan dari dalam
yang bentuknya berupa kecenderungan, bakat, akal dan lain-lain.
b. Aliran
Empirisme
Faktor yang paling berpengaruh
dalam pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan
sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
c. Aliran
Konvergensi
Berpendapat pembentukan akhlak
dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar
, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan
yang dibuat secara khusus.
Adapun keberuntungan dari akhlak:
a) Memperkuat
dan menyempurnakan agama
b) Mempermudah
perhitungan amal di akhirat
c) Menghilangkan
kesulitan
d) Selamat
hidup di dunia dan di akhirat
Bab
XI
Arti, Asal-Usul Dan Manfaat Tasawuf Dalam Islam
A. Pengertian Tasawuf
Pengertian
tasawuf dari segi bahasa berarti sikap mental yang selalu memelihara kesucian
diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu
bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang
mulia.
Sedangkan
pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung
pada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Selama ini ada tiga sudut
pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut
pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus
berjuang, dan manusia sebagai makhlauk yang ber-Tuhan.
B. Sumber Tawawuf
a. Unsur
Islam
Ajaran islam mengatur kehidupan
yang bersifat lahiriah dan bathiniyah, dan kehidupan yang bersifat batiniah.
Pada unsur batiniah itulah kemudian lahirlah tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf
ini mendapar perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan
Al-Hadits serta prkatek kehidupan nabi dan para sahabatnya.
b. Unsur
Luas Islam
1. Unsur
Masehi
2. Unsur
Yunani
3. Unsur
Hindu/Budha
4. Unsur
Persia
Bab
XII
Maqomat Dan Hal
A. Maqomat
Secara bahasa maqomat berarti
orang yang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian digunakan untuk
arti sebagai jalan yang harus ditempuh oleh seoarang sufi untuk berada dekat
deng Alloh SWT. Untuk maqomat yang harus ditempuh oleh para sufi adalah sebagai
berikut sesuai dengan yang disepakati para ahli:
a. Al-Zuhud,
tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniaan
b. At-Taubah,
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang
sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai
dengan melakukan amal kebajikan.
c. Al-Wara’,
menjauhi hal yang tidak baik
d. Kefakiran,
tidak meminta lebih dari yang ada pada diri kita
e. Sabar,
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Alloh, tetapi
tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakan sikap cukup.
f. Tawakal,
apabila seorang hamba dihadapan Alloh seperti bangkai dihadapan orang yang
memandikannya, ia mengikuti semua yang memandikan tidak dapat bergerak dan
bertindak.
g. Kerelaan,
menerima qodo dan qodar Alloh dengan hati yang senang
B. Hal
Pengertian hal adalah keadaan mental, seperti perasaan senang,
sedih, takut dan sebagainya.
Bab XIII
Mahabbah
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah
Mahabbah
berarti mencintai secara mendalam. Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan
untuk menunjukan pada suatu paham dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah
obyeknya lebih ditujukan kepada Tuhan.
Al-Qusyairi
mengemukakan pengertian mahabbah dari segi tasawuf adalah “Mahabbah adalah
keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah
SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintai itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.”
B. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Dengan
menggunakan pendekatan psikologi, para ahli tasawuf menjawab yaitu pendekatan
yang melihat adanya potensi rohaniyah yang ada pada diri manusia dan dalam diri
manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu:
1) Al-Qalb
adalah hati sanubari sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2) Roh
adalah alat untuk mencintai Tuhan
3) Sir
adalah alat untuk melihat Tuhan
C. Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah
Tokoh
yang mengembangkan mahabbah yaitu Robiah Al-Adawiyah. Ia adalah seorang zahid
perempuan yang amat besar dari Bashroh di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801
H.
D. Mahabbah Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an
yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhandapat saling bercinta,
contoh ayatnya:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Maidah : 54)
Bab
XIV
Ma’rifah
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifah
Dari
segi bahasa ma’rifah artinya pengetahuan. Orang-orang sufi mengatakan:
a. Kalau
mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Alloh SWT.
b. Ma’rifah
adalah cermin, kalau seorang arif melihat kecermin itu yang akan dilihatnya
hanyalah Alloh SWT.
c. Yang
dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Alloh SWT.
d. Sekiranya
ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati
karena tak tahan melihat kecantikan dan keindahannya. Dan semua cahaya akan
menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gemilang.
B. Alat Untuk Ma’rifah
Alat
yang digunakan untuk ma’rifah telah ada pada diri manusia, yaitu qolbun (hati),
karena qolbun selain untuk merasa adalah juga untuk berpikir. Bedanya qolbun
dengan akal adalah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Tuhan, sedangkan qolbun bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada,
dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
C. Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifah
Dalam literatur tasawuf dijumpai
dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah yaitu:
1. Al-Ghazali
nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111M)
2. Zun
Al-Misri berasal dari Naubah (wafat 860M)
D. Ma’rifah Dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
Artinya : “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat
melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah
tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (QS. An-Nur :40)
Dan Rasulullah Saw Bersabda: “Aku
(Alloh) adalah perbendaharaan yangtersembunyi (ghaib), Aku ingin memperkenalkan
siapa Aku, maka Aku ciptakan makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan
diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku (Hadits Qudsi)
Bab
XV
Al-Fana, Al-Baqa, Dan Ittihad
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Al-Fana, Al-Baqa dan Al-Ittihad
Dari
segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak).
Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak berarti berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain.Sedangkan arti fana menurut para ahli sufi adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazim digunakan pada diri.
Sebagai
akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa artinya kekal, sedangkan
menurut para sufi baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka
yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Berbicara
fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin
dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa adalah al-ittihad. Dalam situasi
ittihad yang demikian itu, seoran sufi telah merasa dirinya telah bersatu
dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.
B. Tokoh Yang Mengembangkan Fana
Dalam
sejarah tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami (w. 874M) disebut-sebut sebagai sufi yang
pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa ini.
C. Fana, Baqa dan Ittihad Dalam Pandangan Al-Qur’an
Paham fana dan baqa yang
ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan
konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan menuju
berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi : 110)
Bab
XVI
Al-Hulul
A. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Al-Hulul
Hulul
berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang
telah mampu melenyaokan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Atau dapat
disimpulkan halul adalah suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara
rohaniah. Dalam hal ini pada hakikatnya adalah istilah lain dari al-ittihad.
Tujuan halul adalah mencapai persatuan secara batin
B. Tokoh Yang Mengembangakan Paham Al-Halul
Salah satu tokoh yang
mengembangkan paham al-halul adalah Al-Hallaj. Nama aslinya adalah Husain bin Mansur
al-Halaj (244H/858M-309H/921M).
Bab
XVII
Wahdat Al-Wujud
A. Pengertian Dan Tujuan Wahdat Al-Wujud
Wahdat al-wujud merupakan
ungkapan dua buah kata yaitu, wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian kata
wahdat al-wujud dapat diartikan kesatuan wujud. Paham ini selanjutnya membawa
pada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Allah)
sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, sedangkan wujud makhluk adalah
bayangan dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari dasar pemikiran sebagai mana
dalam al-hulul bahwa Allah ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya, dan oleh
karena itu dujadikan-Nya alam ini.
Bab
XVIII
Insan Kamil
A. Pengerian Insan Kamil
Secara
bahasa insan kamil adalah manusia yang sempurna. Selanjutnya Jamil Shaliba
mengatakan bahwa kata insan menunjukan pada suatu yang secara khusus digunakan
untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya.
Adapun
kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk
menunjukan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal ini terjadi melalui
terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu dan sekalian sifat
yang baik lainnya.
B. Ciri-Ciri Insan Kamil
1. Berfungsi
Akalnya Secara Optimal
2. Berfungsi
Intuisinya
3. Mampu
Menciptakan Budaya
4. Menghiasi
Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan
5. Berakhlak
Mulia
6. Berjiwa
Seimbang
Bab
IXX
Tarikat
A. Pengertian Dan Tujuan Tarikat
Dari
segi bahasa tarikat berarti jalan, keadaan, aliran dalam garis tertentu. Jamil
Shaliba mengatakan secara harfiah tarikat berarti jalan yang terang lurus yang
memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.
Selanjutnya
istilah tarikat banyak digunakan para ahli tasawuf. Mustafa Zahri dalam
hubungan ini mengatakan tarikat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan
suatu ibadah sesuai dangan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan dikerjakan
oleh Sahabatnya, Tabi’in turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai
sampai pada masa kita ini.
Karena
tarikat ini merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, maka orang yang menjalankan tarikat ini harus menjalankan syari’at
dan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan agama
2. Mengamati
dan berusaha semaksiamal mungkin untuk megitkuti jejak guru dan melaksanakan perintahnya
dan meninggalkan larangannya.
3. Tidak
mncari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki
4. Berbuat
dan mengisi waktu seefesien mugkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan
dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi
5. Mengekanga
hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal
B. Tata Cara Pelaksanaan Tarikat
1. Dzikir,
Yaitu ingat yang terus menerus
kepada Alloh dalam hati seta menyebut namanya dengan lisan
2. Ratib,
Yaitu mengucapakan lafadz la
ilaha illa Alloh dengan gaya, gerak dan irama tertentu
3. Musik
Yaitu dalam membacakan wirid dan
syair tertentu diiringai dengan bunyi-bunyian seperi memukul rebana.
4. Menari,
Yaitu gerak yang dilakukan untuk
mengiringi wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan hidmat
5. Bernafas,
Yaitu mengatur cara nafas dalam
melakukan zikir tertentu.
Bab XX
Problematika Masyarakat Modern Dan Perlunya Akhlak Tasawuf
A. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern secara bahasa
berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan iktan
aturan tertentu yang bersiafat mutkhir.
Ciri-ciri masyarakat modern
menurut Delier Noer:
a. Bersifat
rasional, yakni lebih mengutamakan akal pikiran daripada pendapat emosi
b. Berpikir
untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat
sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya lebih jauh
c. Menghargai
waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan
perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya
d. Bersikap
terbuka, yaitu mau menerima saran, masukan, baik berupakritik, gagasan dan perbaikan
darimana pun datangnya
e. Berpikir
obyektif, yaitu melihat sesutu dari sudut fungsi dan kegunaan bagi masyarakat
B. Problematika Masyarakat Modern
Sosiolog Prancis Jacques Ellul
mengatakan bahwa kemajuan teknologi akan memberi pengaruh sebagai berikut:
1. Semua
kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi teknologi memberi
nilai tambah, tapi pada sisi lain dapat mengurangi.
2. Nilai-nilai
manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisiensi
3. Semua
kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang memecahkan
4. Efek
negetif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek posotifnya. Teknologi tidak
pernah netral. Efek negatif dan positif terjadi secara serentak dan tidak terpisahkan
5. Semua
penemuan teknologi menimbulkan dampak yang tak terduga
Kehadiran
ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika
masyarakat modern sebagai berikut:
a. Disintegrasi
Ilmu Pengetahuan
b. Kepribadian
Yang Terpecah (Split Personality)
c. Penyalahgunaan
IPTEK
d. Pendangkalan
Iman
e. Pola
Hubungan Materialistik
f. Menghalalkan
Segala Cara
g. Stres
dan Frustasi
h. Kehilangan
Harga Diri dan Masa Depannya
C. Perlunya Pengembangan Akhlak Tasawuf
Banyak cara yang diajukan para
ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu yang hampir disepakati
para ahli adalah dengan cara mengembangakan kehidupan yang berakhlak dan
bertasawuf. Kemudian mengapa hal itu perlu?, Komarudin Hidayat mengatakan:
1. Turut
serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan manusia dari kondisi
kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
2. Memperkenalkan
pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat
Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat
Barat.
3. Untuk
memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya asperk esoteris Islam, yakni
sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering, maka keringlah
aspek-aspek lain ajaran Islam.