• Silsilah Nabi dan Rasulullah SAW

    At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra; ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Wahai manusia, aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya, pasti kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan keturunanku.” (Al Jami ash Shahih; hadits 3786).

  • Fakta Unik Tentang Ka'bah

    Ka’bah merupakan kiblat shalat bagi seluruh umat Muslim sedunia. Lokasi Ka’bah berada di dalam wilayah Masjidil Haram yang terletak di kota Makkah, Arab Saudi.

  • 40 Fakta Unik Tentang Islam

    Sebagian orang masih banyak yang meragukan tentang kebenaran agama islam, tak kecuali adalah mereka yang telah mengaku sebagai muslim.

  • K.H. Ahmad Rifa'i Arief

    K.H. Ahmad Rifa'i Arief (lahir 30 Desember 1942 – meninggal 16 Juni 1997 pada umur 54 tahun) adalah seorang kiai perintis dan pendiri Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Pondok Pesantren La Tansa, Pondok Pesantren Sakinah La Lahwa, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE/STAI) La Tansa Mashiro.

  • Enta Eih

    Enta eih mesh kfaya aalaik Tegrahni haram aalaik ent eeih Enta laih dimooai habeebi tehoun aalaik Tab w laih ana radya enak tegrahni w roohi feek Tab w laih yaani eih radya beaazabi bain edaik (x2)

  • Just Believe In Your Dreams

    Percayalah pada apa yang anda rasakan di dalam. Dan memberikan impian anda sayap untuk terbang. Anda memiliki semua yang anda harapkan. Jika anda hanya percaya.

Tuesday 12 June 2012

Posted by Aswad Firmansyah Hanafi
No comments | Tuesday, June 12, 2012

Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.

1. Menurut Ahlur-Rahmi

Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.

Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.

Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

2. Menurut Ahlut-Tanzil

Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.

Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:

  1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:

    Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
  2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:

    Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6

Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.

Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).

Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.

Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah

Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.

Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.

Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.

Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:

  1. Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
  2. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
  3. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
  4. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.

Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:

  1. Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
  2. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.

Yang dinisbati oleh pewaris:

  1. Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
  2. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.

Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:

  1. Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
  2. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
  3. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.

Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:

  1. Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
  2. Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.
  3. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
  4. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.
  5. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
  6. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya.

Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah

Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:

  1. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
  2. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.

Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah

Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.

Catatan

Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.

I. Ahli Waris dari Golongan Wanita

Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.

Catatan

Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
Posted by Aswad Firmansyah Hanafi
No comments | Tuesday, June 12, 2012

Bab I
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Manfaat Mempelajari Akhlak

A.    Definisi Ilmu Akhlak

Adapun definisi dari akhlak secara bahasa adalah perangai, watak dasar, kebisaan, kelaziman dan peradaban yang baik. Sedangkan pengertian akhlak menurut istilah sebagaimana menurut Ibnu Maskawaih (w.421 H/1030 M) yakni :

حَالــــٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ الَهَا إِلَى أَفْعَا لِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلاَ رُوِيَةٍ

Artinya : “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

Ciri-ciri dalam perbuatan akhlak antara lain:

1.      Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadinannya.

2.      Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.

3.      Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

4.      Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dikalakukan dengan sesungguhnya, bukan bermain-main atau bersandiwara.

5.      Sejalan dengan ciri ke empat perbuatan akhlak (khusus perbuatan baik) adalah perbuatan yang dilakuakna karena ikhlas semata-mata karena Allah SWT.

Maka, pengertian ilmu akhlak yaitu “Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.” Atau ilmu akhlak dapat juga disebut dengan“Ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbautan tersebut tergolong baik atau buruk.”



B.     Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Akhlak

Objek pembahasan ilmu akhlak adalah perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan penilaian apakah baik atau buruk, dan mempunyai ciri-ciri yang telah disebutkan diatas yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan, telah dilakukan secara continue sehingga menjadi tradisi dalam kehidupannya.



C.    Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak

Menurut Ahmad Amin, manfaat mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yaitu menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian yang lainnya sebagai yang buruk.

Sedangkan dalam pandangan Mustafa Zahri, manfaat mempelajari ilmu akhlak adalah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih seperti cermin yang dapat menerima Nur (cahaya) Allah.”




Bab II
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Lainnya



A.    Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tasawuf

Para ahli tasawuf membagi ilmu tasawuf ke dalam tiga bagian yang berbeda dalam hal pendekatannya, yaitu sebagai berikut:

1.      Tasawuf falsafi yaitu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran.

2.      Tasawuf akhlaki yaitu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takholli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji) dan tajalli (terbukannya penghalang atau hijab).

3.      Tasawuf amali yaitu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid yang selanjutnya mengambil bentuk tarekat.



B.     Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tauhid

a)     Dilihat dari segi pembahasannya, ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Dengan demikian ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak terpuji.

b)    Dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang ada dalam rukun iman itu. Hubungan ilmu tauhid dan ilmu akhlak dapat pula dilihatdari eratnya kaitan antara iman dan amal sholeh.



C.     Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Jiwa

Dilihat dari segi garapannya, ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang.

Para ahli telah banyak menghasilkan pembinaan akhlak yang telah dilakukan dengan menggunakan jasa yang diberikan ilmu jiwa, seperti yang dilakukan para psikolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berprilaku menyimpang dan lain sebagainya.



D.     Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Pendidikan

Dalam ilmu pendidikan antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan bimbingan, proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Semua aspek pendidikan tersebut ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan, adapun tujuan pendidikan ini dalam pandangan islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak atau identik dengan tujuan seorang Muslim yaitu menjadi hamba Alloh yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya.



E.     Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Filsafat

Para filosof Muslim seperti Ibnu Sina (980-1037M) dan Al-Ghazali (1059-1111M) memiliki pemikiran tentang manusia seperti terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa. Ibnu Sina misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.

Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu akhlak, perlu juga melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu uraian tersebut di atas menunjukan dengan jelas bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.


Bab III
Induk Akhlak Islami

Secara umum, akhlak dibagi dalam dua bagian, yaitu:

1.      Akhlak baik (al-akhlak al-karimah)

2.      Akhlak buruk (al-akhlak al-mazmumah).

Sedangkan secara teoritas, macam-macam akhlak berinduk kepada tiga bagian yaitu sebagai berikut:

1.      Hikmah (bijaksana)

2.      Syaja’ah (perwira atau kesatria)

3.      Iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat)

Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan tiga potensi rohani yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghodob (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbutan dosa dan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam Al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Salah satunya sebagai berikut firman Allah SWT:






Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”(QS. An-Nisa, 58)




Bab IV
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Akhlak



A.    Ilmu Akhlak Di Luar Agama Islam

1.      Akhlak pada Bangsa Yunani

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak pada masa Yunani bar terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia atau pemikiran tentang manusia.

Pandangan dan pemikiran filsafat yang dikemukan para filosof Yunani itu secara redaksional berbeda-beda, tetapi subtansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik dan merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah air.

Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukan para pemikir Yunani tampak bersifat rasionalistik. Penentuan baik dan buruk di dasarkan pada pendapat akal dan pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidaklah salah kalau dikatakan bahwa ajaran akhlak yang dikemukan para pemikir Yunani ini bersifat anthropocentris (memusat pada manusia).

2.      Akhlak pada Agama Nasrani

Pada akhir abad ketiga masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia adan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan merupakan sumber akhlak. Tuhanlah yang menetukan bentuk patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa yang disebut baik adalah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centri (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin).

3.      Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

Kehidupan masyarakat Eropa pada abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “haikikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintahkan wahyu tentu benar adanya. Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan ajaran Yunani dan ajaran Nasrani.

4.      Akhlak pada Bangsa Arab

Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak pada aliran tertentu. Hal yang demikian sebagai akibat dari tidak berkembangnyakegiatan ilmiah di kalangan masyarakat Arab. Pada waktu itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memrintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang utama dan menjauhi perbuatan yang hina dan tercela.



B.     Akhlak Pada Agama Islam

Kitab Al-Qur’an adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang aqidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumapai sumber yang aslinya di dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:




Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl, 90)

Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dijelaskan dengan menunjukan universalitas Al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia. Hasil penelitian Thabathabi terhadap kandungan Al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia itu ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1.      Menurut petunjuk Al-Qur’an, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan, ketengan dan pencapaian cita-citanya.

2.      Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Dengan demikian perbuatan tersebut dapat bernilai akhlak apabila dilakukan dengan tulus ikhlas dan pilihan sendiri.

3.      Jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi dan hawa nafsu.



C.    Akhlak Pada Zaman Baru

Eropa mengalami kebangkitan dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli bangsa Eropa termasuk Italia mulai meningkatkan dalam kegiatan dalam budang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan mereka yang sebelumnya terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang selama ini dianggap mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui, hingga akhirnya mereka menetapkan pola bertindak dan berpikkir secara liberal.

Diantara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan dan kenyataan empirik dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama. Sumber akhlak yang semula berasal dari al-kitab, dogma kristiani dan khayalan mereka ganti dengan ajaran akhlak yang bersumber pada logika dan pengalaman empirik. Hal yang demikian pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan etika dan moral yang berbasih pada pemikiran akal pikiran.

Pada abad baru ini sudah banyak tokoh pemikir akhlak yang lahir. Di antaranya Desacartes adalah seorang ahli filsafat Prancis yang hidup antaea tahun 1596-1650 M. Pndangannya mengenai akhlak sangat rasionalistik dan empirik. Ia tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan penelitian empirik. Segala sesuatu yang didasarkan pada sangkaat dan apa yang tumbuh dari adat kebiasaan.

Selanjutnya Shafesbury dan Hatshson adalah kedua tokoh yang memiliki pandangan akhlak yang berdifat anthropocentris (mendasarkan diri pada kemampuan manusia). Kedua tokoh tesebut berkata bahwa di dalam diri manusia terdapat indra insting yang dapat mengetahui dengan sendirinya terhadap sesuatu yang baik atau buruk.

Pokok pembahasan tentang intuisi diklarifikasikan menjadi empat, yaitu:

1.      Intuisi mencari hakikat atau pengetahuan. Dengan intuisi ini banyak manusia yang menghabiskan usianya untuk diabdikan kepada pengembangan ilmu pengetahuan.

2.      Intuisi etika dan akhlak, yakni cenderung kepada kebaikan.

3.      Intuisi estetika yakni cenderung kepada segala sesuatu yang mendatangkan keindahan.

4.      Intuisi agama, yakni perasaan meyakini adanya yang menguasai alam dengan segala isinya, yakni Tuhan.




Bab V
Etika Moral Dan Susila



A.    Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia , etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral.

Sedangkan etika dari segi istilah telah dikemukan para ahli dengan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin berpendapat bahwe etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, tujuan yang harus dituju manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Sebenarnya masih banyak lagi pendapat para ahli tentang pengertian etika. Namun dapat disimpulkan bahwa etika berhubungan dengan empat hal, yaitu:

1.      Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia.

2.      Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat, sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat diubah, memiliki kekurangan dan kelbihan, dan sebagainya.

3.      Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbutan tersebut dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya.

4.      Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.



B.     Moral

Moral menurut segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bawa moral adalah penentuan baik buruk terhada perbuatan dan kelakuan.

Menurut segi istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, peringai, kehendak, pendapat atau perbuatan secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Selanjutnya pengertian moral dijumpai juga dalam The Anvenced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut:

1.      Prinsip-prinsip yang berkenaan dangan benar dan salah, baik dan buruk.

2.      Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.

3.      Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.

Jika etika dan moral tersebut dihubungkan satu dan yang lainnya kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama, yaitu sama-sama membahas perbutan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan, yaitu:

1.      Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang berkembang dan berfungsi di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep.

2.      Kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan obyektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang obyektif dan dapat berlaku secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis

3.      Kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan, atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan prilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.



C.    Susila

Susila atau kesusilaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik dan sila berarti dasar.

Kata susila kemudian digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang yang susila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang asusila adalah orang yang berkelakuan buruk. Para pelacur misalnya diberi gelar tuna susila.

Kesusilaan lebih mengacu kepada upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kesusilaan menggambarkan keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik.



D.    Hubungan Etika, Moral Dan Susila Dengan Akhlak

Dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya.

Perbedaan moral, etika, susila dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal dan pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum dimasyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menetukan baik dan buruk itu adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Perbedaan lain antara etika, moral, dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila besifat lokal dan individual.

Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan saling membutuhkan. Uraian diatas menjelaskan bahwa moral, etika dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.




Bab VI
Baik Dan Buruk



A.    Definisi Baik Dan Buruk

Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Baik atau kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.

Adapun yang disebut buruk dalam bahasa Arab adalah syar, atau sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.



B.     Penentuan Baik Dan Buruk

1.      Baik Buruk Menurut Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme)

Menurut aliran ini baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan adat-istiadat yang berlaku dan dipegang tegunh oleh masyarakat. Adat istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum.

2.      Baik Buruk Menurut Aliran Hedonisme

Menurut paham ini perbuatan baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelzatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis.

3.      Baik Buruk Menurut Paham Utilitarisme

Secara harfiah utilis artinya berguna. Menurut paham ini bahwa yang dikatakan baik adalah yang berguna.

4.      Baik Buruk Menurut Paham Vitalisme

Menurut paham ini yang baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukan orang lain yang lemah dianggap baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.

5.      Baik Buruk Menurut Paham Religionisme

Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dangan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.

6.      Baik Buruk Menurut Paham Evolusi

Menurut Herbert Spencer (1820-1903) mengatakan bahwa perubahan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian meningkat sediktit demi sedikit berjalan kearah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik jika seuai dengan cita-cita itu dan buruk jika jauh daripadanya. Sedangkan tujuan hidupa manusia adalah mencapai cita-citanya atau paling tidak mendekati sedikit mungkin.



C.    Sifat Dari Baik Dan Buruk

Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat yaitu sesuai dengan sifat filsafat itu yakni berubah, realatif nisbi, dan tidak universal.

Sifat dari baik dan buruk yang demikian itu tetap berguna sesuai dengan zamannya, dan ini dapat digunakan untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang bersumber dari ajaran Islam.



D.    Baik Dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Menrurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika kite perhatikan Al-Qur’an maupun hadits banyak istilah yang mengacu kepada baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada buruk. Di antara istilah yang mengacu pada baik misalnya hasanah, thoyyibah, khairoh, karimah, mahmudah, azizah dan birr.

Adanya istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Al-Qur’an dan Hadits itu menunjukan bahwa penjelasan terhadap sesuatu yang baik menurut ajaran Islam itu jauh lebih lengkap dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya.




Bab VII
Kebebasan, Tanggung Jawab, Dan Hati Nurani



A.    Pengertian Kebebasan

Ada dua pendapat yang menjelaskan tentang kebebasan manusia. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebasa dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauaannya sendiri. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan

Dilihat dari sifatnya kebebasan terbagi tiga, yaitu:

1.      Kebebasan jasmaniah yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan memperguanakan anggta badan yang kita miliki.

2.      Kebebasan kehendak (roahaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh kemungkinan untuk berpikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja.

3.      Kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak ada macam macam-macam ancaman, tekanan, larangan, dan lain desakan yang berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak ada kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan untuk bertindak.



B.     Tanggung Jawab

Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.

Dalam kerangka tanggung jawab, kebebasan mengandung arti:

1.      Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri

2.      Kemampuan untuk bertnaggung jawab

3.      Kedewasaan manusia

4.      Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuana hidupnya

Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Uraian tersebut menunjukan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesenjangan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran.



C.    Hati Nurani

Hati nurani adalah tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.

Karena sifat yang demikian itu, maka hati nurani harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi hati nuraninya.



D.    Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani Dangan Akhlak

Masalah kebebasan, tanggung jawab dan hatu nurani adalah faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalakan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.




Bab VIII
Hak, Kewajiban Dan Keadilan

A.    Hak

1.      Pengertian dan Macam-Macam Hak

Hak dapat diartikan wewenang yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu.

Dalam perkembangannnya kata hak atau al-haqq dalam Al-Qur’an digunakan untuk empat pengertian, yaitu:

1.      Untuk menunjukan pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah. Penggunaan al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai dalam contoh ayat berikut:


Artinya : ”Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya (haq). ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.”(QS. Al-An’am : 62)

2.      Kata al-haqq diguanakan untuk menunjukan kepada sesuatu yang diaadakan yang mengandung hikmah misalnya Alloh SWT menjadikan matahari dan bulan dangan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Contoh ayat:


Artinya : “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus : 5)

3.      Kata al-haqq digunakan untuk menunjukan keyakinan terhadap sesuatu yang cocok dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan, akhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Contoh ayat:






Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”(QS. Al-Baqoroh : 213)

4.       Kata al-haqq digunakan untuk menunjukan terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar yang seharusnya dilakukan sesuai keadaaan waktu dan tempat. Contoh ayat:




Artinya : “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,”(QS. Al-Mu’minun : 71)



2.      Macam-Macam dan Sumber Hak

Ada bermacam-macam hak dan ada dua faktor yang menyertainya, yaitu:

1.      Faktor yang merupakan hal ( obyek) yang dihakki (dimiliki) yang selanjutnya disebut hak obyektif. Hak ini baik berupa fisik maupun non fisik

2.      Faktor orang (subyek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak subyektif.



B.     Kewajiban

Karena hak merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain kewajiban itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak-hak orang lain.



C.    Keadilan

Sejalan dengan adanya hak dan kewajiban itu maka timbul pula keadilan. Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan hak (yang sah). Sedangkan menurut Islam keadilan adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara.

Demikian pentingnya masalah keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban ini Alloh SWT berfirman:


Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)



D.    Hubungan Hak, Kewajiban Dan Keadilan Dengan Akhlak

Hak merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan oleh sesorang sebagai haknya. Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi keperibadian dari seseoarang yang darinya timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa rasa berat. Sedangkan keadilan dalam teori pertengahan ternyata merupakan induk akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan maka akan mendukung terciptanya akhlaki.




Bab IX
Akhlak Islami



A.   Pengertian Akhlak Islami

Akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebenarnya dan didasarkan pada ajaran Islam.



B.   Ruang Lingkup Akhlak Islami

1.     Akhlak Terhadap Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Alloh sebagai Kholiq. Empat alasan mengapa manusia perlu berkahlak kepada Alloh, yaitu karena:

a)  Allah lah yang telah menciptakan manusia

b)  Allah lah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra.

c)   Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.

d)  Allah lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikan kemampuan menguasai daratan dan lautan.

2.     Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukan Al-Qur’an berkaitan dengan akhlak terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai bukan hanya berupa melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan cara menceritkan aib seseorang dibelakngnya, dll.

3.     Akhlak Terhadap Lingkungan

Yang dimaksud lingkungan disini adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.




Bab X
Pembentukan Akhlak



A.   Arti Pembentukan Akhlak

Masalah pembentukan akhlak sama dengan tentang tujuan pendidikan. Jadi pembentukan akhlak atau tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Alloh, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.



B.   Metode Pembinaan Akhlak

Pembinaan alhlak merupakan tumpuan pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi kerosulan Nabi Muhammad SAW yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Pembinaan akhlak dalam Islam juga terintegrasi dengan pelaksanaan rukun Islam, karena dalam rukun Islam yang lima itu terkandung konsep pembinaan akhlak.



C.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak

Untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umunya, ada tiga aliran yang suadah amat populer, yaitu:

a.     Aliran Nativisme

Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan akhlak adala fkator bawaan dari dalam yang bentuknya berupa kecenderungan, bakat, akal dan lain-lain.

b.     Aliran Empirisme

Faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.

c.      Aliran Konvergensi

Berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar , yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus.



Adapun keberuntungan dari akhlak:

a)      Memperkuat dan menyempurnakan agama

b)      Mempermudah perhitungan amal di akhirat

c)      Menghilangkan kesulitan

d)     Selamat hidup di dunia dan di akhirat




Bab XI
Arti, Asal-Usul Dan Manfaat Tasawuf Dalam Islam



A.   Pengertian Tasawuf

Pengertian tasawuf dari segi bahasa berarti sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.

Sedangkan pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhlauk yang ber-Tuhan.



B.   Sumber Tawawuf

a.     Unsur Islam

Ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan bathiniyah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur batiniah itulah kemudian lahirlah tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapar perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Hadits serta prkatek kehidupan nabi dan para sahabatnya.

b.     Unsur Luas Islam

1.      Unsur Masehi

2.     Unsur Yunani

3.     Unsur Hindu/Budha

4.      Unsur Persia




Bab XII
Maqomat Dan Hal

A.   Maqomat

Secara bahasa maqomat berarti orang yang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus ditempuh oleh seoarang sufi untuk berada dekat deng Alloh SWT. Untuk maqomat yang harus ditempuh oleh para sufi adalah sebagai berikut sesuai dengan yang disepakati para ahli:

a.       Al-Zuhud, tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniaan

b.      At-Taubah, memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.

c.       Al-Wara’, menjauhi hal yang tidak baik

d.      Kefakiran, tidak meminta lebih dari yang ada pada diri kita

e.       Sabar, menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Alloh, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakan sikap cukup.

f.       Tawakal, apabila seorang hamba dihadapan Alloh seperti bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semua yang memandikan tidak dapat bergerak dan bertindak.

g.     Kerelaan, menerima qodo dan qodar Alloh dengan hati yang senang



B.   Hal

Pengertian hal adalah  keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya.

Bab XIII
Mahabbah



A.   Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah

Mahabbah berarti mencintai secara mendalam. Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada suatu paham dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan kepada Tuhan.

Al-Qusyairi mengemukakan pengertian mahabbah dari segi tasawuf adalah “Mahabbah adalah keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintai itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.”



B.   Alat Untuk Mencapai Mahabbah

Dengan menggunakan pendekatan psikologi, para ahli tasawuf menjawab yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniyah yang ada pada diri manusia dan dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu:

1)    Al-Qalb adalah hati sanubari sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.

2)    Roh adalah alat untuk mencintai Tuhan

3)    Sir adalah alat untuk melihat Tuhan



C.   Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah

Tokoh yang mengembangkan mahabbah yaitu Robiah Al-Adawiyah. Ia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashroh di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H.



D.   Mahabbah Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhandapat saling bercinta, contoh ayatnya:


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah : 54)




Bab XIV
Ma’rifah

A.   Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifah

Dari segi bahasa ma’rifah artinya pengetahuan. Orang-orang sufi mengatakan:

a.     Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Alloh SWT.

b.     Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat kecermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Alloh SWT.

c.      Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Alloh SWT.

d.     Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan dan keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gemilang.



B.   Alat Untuk Ma’rifah

Alat yang digunakan untuk ma’rifah telah ada pada diri manusia, yaitu qolbun (hati), karena qolbun selain untuk merasa adalah juga untuk berpikir. Bedanya qolbun dengan akal adalah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qolbun bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.



C.   Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifah

Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah yaitu:

1.     Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111M)

2.     Zun Al-Misri berasal dari Naubah (wafat 860M)



D.   Ma’rifah Dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:




Artinya : “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (QS. An-Nur :40)

Dan Rasulullah Saw Bersabda: “Aku (Alloh) adalah perbendaharaan yangtersembunyi (ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku (Hadits Qudsi)




Bab XV
Al-Fana, Al-Baqa, Dan Ittihad



A.    Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Al-Fana, Al-Baqa dan Al-Ittihad

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak berarti berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.Sedangkan arti fana menurut para ahli sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.

Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa artinya kekal, sedangkan menurut para sufi baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.

Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa adalah al-ittihad. Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seoran sufi telah merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.



B.     Tokoh Yang Mengembangkan Fana

Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami (w. 874M) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa ini.



C.    Fana, Baqa dan Ittihad Dalam Pandangan Al-Qur’an

Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:




Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi : 110)




Bab XVI
Al-Hulul



A.    Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Al-Hulul

Hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah mampu melenyaokan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Atau dapat disimpulkan halul adalah suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini pada hakikatnya adalah istilah lain dari al-ittihad. Tujuan halul adalah mencapai persatuan secara batin



B.     Tokoh Yang Mengembangakan Paham Al-Halul

Salah satu tokoh yang mengembangkan paham al-halul adalah Al-Hallaj. Nama aslinya adalah Husain bin Mansur al-Halaj (244H/858M-309H/921M).




Bab XVII
Wahdat Al-Wujud



A.    Pengertian Dan Tujuan Wahdat Al-Wujud

Wahdat al-wujud merupakan ungkapan dua buah kata yaitu, wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian kata wahdat al-wujud dapat diartikan kesatuan wujud. Paham ini selanjutnya membawa pada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Allah) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, sedangkan wujud makhluk adalah bayangan dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari dasar pemikiran sebagai mana dalam al-hulul bahwa Allah ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya, dan oleh karena itu dujadikan-Nya alam ini.




Bab XVIII
Insan Kamil



A.    Pengerian Insan Kamil

Secara bahasa insan kamil adalah manusia yang sempurna. Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukan pada suatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya.

Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal ini terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu dan sekalian sifat yang baik lainnya.



B.     Ciri-Ciri Insan Kamil

1.      Berfungsi Akalnya Secara Optimal

2.      Berfungsi Intuisinya

3.      Mampu Menciptakan Budaya

4.      Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

5.      Berakhlak Mulia

6.      Berjiwa Seimbang




Bab IXX
Tarikat

A.    Pengertian Dan Tujuan Tarikat

Dari segi bahasa tarikat berarti jalan, keadaan, aliran dalam garis tertentu. Jamil Shaliba mengatakan secara harfiah tarikat berarti jalan yang terang lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.

Selanjutnya istilah tarikat banyak digunakan para ahli tasawuf. Mustafa Zahri dalam hubungan ini mengatakan tarikat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dangan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan dikerjakan oleh Sahabatnya, Tabi’in turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini.

Karena tarikat ini merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka orang yang menjalankan tarikat ini harus menjalankan syari’at dan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1.      Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan agama

2.      Mengamati dan berusaha semaksiamal mungkin untuk megitkuti jejak guru dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.

3.      Tidak mncari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki

4.      Berbuat dan mengisi waktu seefesien mugkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi

5.      Mengekanga hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal



B.     Tata Cara Pelaksanaan Tarikat

1.      Dzikir,

Yaitu ingat yang terus menerus kepada Alloh dalam hati seta menyebut namanya dengan lisan

2.      Ratib,

Yaitu mengucapakan lafadz la ilaha illa Alloh dengan gaya, gerak dan irama tertentu

3.      Musik

Yaitu dalam membacakan wirid dan syair tertentu diiringai dengan bunyi-bunyian seperi memukul rebana.

4.      Menari,

Yaitu gerak yang dilakukan untuk mengiringi wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan hidmat

5.      Bernafas,

Yaitu mengatur cara nafas dalam melakukan zikir tertentu.




Bab XX
Problematika Masyarakat Modern Dan Perlunya Akhlak Tasawuf



A.    Pengertian Masyarakat Modern

Masyarakat modern secara bahasa berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan iktan aturan tertentu yang bersiafat mutkhir.

Ciri-ciri masyarakat modern menurut Delier Noer:

a.       Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan akal pikiran daripada pendapat emosi

b.      Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya lebih jauh

c.       Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya

d.      Bersikap terbuka, yaitu mau menerima saran, masukan, baik berupakritik, gagasan dan perbaikan darimana pun datangnya

e.       Berpikir obyektif, yaitu melihat sesutu dari sudut fungsi dan kegunaan bagi masyarakat



B.     Problematika Masyarakat Modern

Sosiolog Prancis Jacques Ellul mengatakan bahwa kemajuan teknologi akan memberi pengaruh sebagai berikut:

1.      Semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi teknologi memberi nilai tambah, tapi pada sisi lain dapat mengurangi.

2.      Nilai-nilai manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisiensi

3.      Semua kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang memecahkan

4.      Efek negetif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek posotifnya. Teknologi tidak pernah netral. Efek negatif dan positif terjadi secara serentak dan tidak terpisahkan

5.      Semua penemuan teknologi menimbulkan dampak yang tak terduga

Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut:

a.       Disintegrasi Ilmu Pengetahuan

b.      Kepribadian Yang Terpecah (Split Personality)

c.       Penyalahgunaan IPTEK

d.      Pendangkalan Iman

e.       Pola Hubungan Materialistik

f.       Menghalalkan Segala Cara

g.      Stres dan Frustasi

h.      Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya



C.    Perlunya Pengembangan Akhlak Tasawuf

Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangakan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Kemudian mengapa hal itu perlu?, Komarudin Hidayat mengatakan:

1.      Turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan manusia dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.

2.      Memperkenalkan pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat.

3.      Untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya asperk esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam.

Followers

Animated Cool Shiny Blue Pointer
Powered By Blogger